Pesan dari COP29: Kurangi Emisi atau Kita akan Membayar ‘Harga’ yang Mahal
Kegagalan mengurangi emisi berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi dan sosial.
REPUBLIKA.CO.ID, BAKU — Ketua UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) Simon Stiell membuka Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 atau COP29 di Baku, Azerbaijan, dengan seruan tegas untuk kolaborasi global dalam menangani krisis iklim yang semakin mendesak. Stiell menekankan pentingnya kelanjutan proses UNFCCC dalam menangani dampak perubahan iklim yang telah dirasakan di seluruh dunia.
Dalam pidatonya, Stiell menyampaikan penghargaan kepada Ketua COP28 Sultan Al Jaber dan Kepresidenan Uni Emirat Arab serta menyambut Presidensi Mukthar Babayev dari Azerbaijan sebagai pemimpin baru COP29.
Stiell menyampaikan pidatonya dengan mengangkat kisah seorang tetangganya, Florence, seorang wanita berusia 85 tahun dari Karibia yang rumahnya hancur oleh Badai Beryl pada Juli 2024. "Di usianya yang ke-85, Florence telah menjadi salah satu dari jutaan korban perubahan iklim yang tak terkendali tahun ini," katanya, Senin (11/11/2024).
Sosok Florence menjadi simbol ketahanan dan tekad masyarakat dunia yang berjuang di tengah dampak bencana akibat perubahan iklim. COP29, menurut Stiell, bukan hanya forum diplomasi, melainkan juga panggung untuk merumuskan kesepakatan yang sangat penting, termasuk di antaranya tujuan pembiayaan iklim global baru.
“Jika setidaknya dua pertiga dari negara-negara di dunia tidak mampu mengurangi emisi dengan cepat, maka setiap negara akan membayar harga yang sangat mahal,” kata Stiell.
Dia mengingatkan, ketidakmampuan dalam mencapai pengurangan emisi akan berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi dan sosial seluruh dunia.
Lebih lanjut, Stiell menekankan pendanaan iklim bukan sekadar bentuk amal atau tanggung jawab moral, melainkan suatu investasi yang sangat penting bagi setiap negara. Stiell menegaskan tujuan pendanaan iklim baru yang ambisius sepenuhnya merupakan kepentingan setiap negara, termasuk negara terbesar dan terkaya. Ia menyerukan reformasi sistem keuangan global untuk memberikan ruang fiskal yang dibutuhkan negara-negara dalam mengatasi tantangan iklim.
Salah satu fokus utama COP29 adalah implementasi Pasal 6 dalam Perjanjian Paris yang mengatur mekanisme pasar karbon internasional. Stiell menyatakan pentingnya menyelesaikan aspek-aspek teknis dari pasar karbon ini untuk membantu negara-negara mengurangi emisi secara efektif.
“Kita harus membuat pasar karbon internasional berjalan,” tegasnya.
Stiell juga menyatakan target COP Dubai tentang mitigasi harus terus diupayakan. Ia menambahkan menjaga suhu global agar tidak melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius menjadi prioritas utama.
Menurut Stiell, transisi energi bersih kini menjadi tren global yang tidak dapat dihentikan. Ia memaparkan investasi energi bersih dan infrastruktur akan mencapai dua triliun dolar AS pada 2024, hampir dua kali lipat dari investasi pada bahan bakar fosil.
Adaptasi perubahan iklim menjadi agenda penting di COP29. Stiell menekankan perlunya menetapkan target adaptasi yang jelas untuk memastikan ketahanan terhadap dampak iklim dapat dicapai oleh semua negara. “Kita tidak dapat mengelola apa yang tidak kita ukur,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya mengetahui apakah negara-negara berada di jalur yang benar dalam meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan iklim.
Selain itu, laporan Transparansi Dua Tahunan yang akan diterbitkan tahun ini akan memberikan gambaran jelas mengenai kemajuan dalam pencapaian target iklim serta celah yang masih harus diatasi. Transparansi ini penting untuk meningkatkan akuntabilitas dalam proses negosiasi iklim dan memberikan gambaran yang lebih objektif tentang tantangan yang masih dihadapi.