Dua Tanda Anak Terserang Autis, Kata Dokter RSCM
Dokter RSCM imbau Pahami teknik perilaku sederhana untuk deteksi autis anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Hardiono D Pusponegoro menyampaikan pentingnya orang tua memahami teknik perilaku sederhana untuk mendeteksi gejala autis pada anak.
“Anak kalau umur setahun belum menunjuk, anak 16 bulan belum bicara mama, papa, kemudian kurang berinteraksi sama orang, itu sudah cukup (menjadi alasan) membawa anak ke profesional. Jadi anak itu suruh nunjuk umur setahun, dan suruh ngomong di umur 16 bulan,” katanya dalam diskusi Kelas Orang Tua Hebat oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Dua gejala sederhana tersebut sudah perlu menjadi perhatian oleh orang tua, dan cukup menjadi bukti untuk membawa anaknya ke dokter atau profesional.
“Orang tua mesti belajar paling tidak teknik behavior (perilaku) yang mudah, meminta dan menunjuk, dua itu dulu. Berikutnya, suruh imitasi atau meniru, kemudian, kalau disuruh tanpa ditunjuk-tunjuk mesti bisa," ucapnya.
Gejala autisme sudah terlihat sejak dini, di mana berdasarkan penelitian, umumnya kurang dari tiga tahun.
“Tetapi bisa kurang dari satu tahun sudah ada gejala, hanya saja tidak bisa memenuhi kriteria diagnosis. Bahkan, bisa saja anak sampai usia 1,5 tahun dia normal, kemudian tiba-tiba berhenti atau regresi (kemampuan interaksinya berkurang), anaknya jadi enggak bisa ngomong, semua perkembangannya jadi kurang. Gejala dapat berubah dengan umur dan terapi, tetapi bisa juga menetap, utamanya gangguan interaksi sosial,” ujar dia.
Hardiono juga mengemukakan, berdasarkan hasil penelitian, penting membawa anak dengan autisme untuk banyak beraktivitas fisik di luar untuk membuat mereka menjadi lebih tenang.
“Kalau terapi sensory integration itu kan pakai alat banyak, kadang kasihan juga anaknya, tetapi penelitian di seluruh dunia menunjukkan, kalau anak autisme diberi aktivitas fisik, itu akan sangat membantu, jadi sering-sering main outdoor (di luar ruangan) saja, tidak 100 persen terapi, tetapi itu lumayan membantu, pasti anaknya bisa lebih tenang,” paparnya.
Menurutnya, belum ada bukti yang kuat bahwa makanan atau diet berpengaruh pada perilaku anak-anak autis.
“Di semua guideline tidak memasukkan diet dalam terapi autis, jadi bukti ilmiahnya kurang. Penelitian saya juga membuktikan tidak ada hubungannya antara makanan dengan autis. Ibu-ibu itu buang waktu saja dan uang dengan membeli suplemen, dan lain-lain, dengan harapan akan ada obat ajaib yang bisa mengobati anaknya. Saya tidak pernah menganjurkan,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya diagnosis sedini mungkin agar anak dengan autis segera mendapatkan terapi yang tepat sehingga membuahkan hasil yang maksimal.
“Faktor yang menyebabkan autis belum ketahuan sampai sekarang, jadi autis yang disebabkan faktor genetik ada, lingkungannya juga ada, tetapi faktor lingkungannya apa juga kita enggak tahu. Jadi yang bisa dilakukan adalah menegakkan diagnosis sedini mungkin dan melakukan terapi yang benar, itu biasanya hasil akan tepat,” kata Hardiono.