Ketika Muhammadiyah Dipimpin 'Tentara'
KH Muhammad Yunus Anis adalah ketua umum PP Muhamadiyah 1959-1962.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah memiliki seorang kader yang tidak hanya berperan di ranah sipil, melainkan juga militer. Dialah KH Muhammad Yunus Anis.
Seperti diungkapkan M Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah, tokoh yang lahir pada 3 Mei 1903 itu merupakan anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Haji Muhammad Anis, seorang tokoh Muslim dan sekaligus abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Yunus Anis kecil menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakjat Muhammadiyah Yogyakarta. Selanjutnya, ia dikirim ke Batavia (Jakarta) untuk belajar di Sekolah al-Atas dan Sekolah al-Irsyad, yang dipimpin Syekh Ahmad Surkati. Ketika itu, sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, bersahabat erat dengan tokoh al-Irsyad tersebut.
Sesudah lulus dari sekolah menengah, Yunus Anis menempuh jalan sebagai seorang mubaligh. Ia memang memiliki kecintaan yang besar pada dunia dakwah Islam.
Pada periode 1924-1926, Muhammad Yunus dipercaya menjadi pengurus cabang Muhammadiyah di Batavia. Pada masa itulah kepiawaiannya dikenal luas. Orang-orang menyebutnya sebagai organisator yang ulung.
Pada kurun tahun 1934-1936, Muhammad Yunus terpilih menjadi sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan yang sama diembannya pada periode kedua, yakni 1953-1958.
Masa-masa ini dapat dikatakan sebagai awal ketokohannya di tingkat nasional. Masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah, merasakan betul kerja nyatanya.
Pada 1954, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengangkat KH Muhammad Yunus Anis selaku Kepala Pusat Rohani (Pusroh) Angkatan Darat RI. Pengangkatan ini tentunya bukan tanpa alasan.
Pada masa pendudukan Jepang dahulu, sekretaris PP Muhammadiyah itu pernah bergabung dalam struktur Pembela Tanah Air (PETA). Sejak saat itu, namanya kian masyhur di tengah kalangan militer Indonesia.
Saat menjadi Kapusroh TNI-AD, KH Muhammad Yunus Anis berusia 51 tahun. Dia menjadi akrab dengan sebutan Imam Tentara. Sapaan itu memang lazim disematkan untuk tokoh-tokoh yang memimpin Pusroh militer.
Dalam menjalankan tugasnya, dia selalu memberikan bimbingan mental keislaman dan kebangsaan kepada seluruh prajurit. Tujuannya jelas: menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air sekaligus nilai-nilai ajaran Islam.
KH Yunus Anis dekat sekali dengan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) kala itu, Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution. Keduanya memiliki kesamaan pandangan dalam banyak soal, meskipun ada pula perbedaan di sana-sini.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta, KH Muhammad Yunus terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 1959-1962. Dalam muktamar itu, dia mengemukakan gagasan tentang “Kepribadian Muhammadiyah.” Perumusannya kemudian digarap melalui sebuah tim ahli yang dipimpin KH Faqih Usman.
Bersuara di parlemen
Memasuki dasawarsa 1960-an, awan gelap menyelimuti demokrasi di Indonesia. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan secara paksa oleh Presiden Sukarno pada 13 September 1960. Bung Karno, yang terus didekati oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), kian melenceng dari demokrasi.
Parlemen pun telah dikuasai kepentingan rezim. Bahkan, pada 1963 MPR-S menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Suatu keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang sehat.
Di tengah situasi demikian, KH Muhammad Yunus mendapatkan dorongan dari tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno. Rezim politik saat itu ingin agar dirinya duduk sebagai anggota DPR-Gotong Royong (GR). Komposisi parlemen itu, sayangnya, disusun sendiri oleh Sukarno—bukan melalui pemilihan umum yang demokratis.
Karena menerima tawaran itu, banyak kritik dialamatkan kepadanya. Namun, Kiai Yunus Anis secara terbuka menegaskan, tindakannya itu semata-mata demi kepentingan jangka panjang, yakni membawa aspirasi umat Islam.
Dia menilai, jangan sampai suara-suara kaum Muslimin pupus sama sekali, walaupun parlemen saat itu sedang dihegemoni penguasa.
Akhirnya, rezim Presiden Sukarno jatuh di tengah jalan. Indonesia sedang menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan politik sekaligus. Peristiwa G30S menjadi pemicu telak runtuhnya kewibawaan Orde Lama di hadapan rakyat.