Apindo Desak Pemerintah Tinjau Kembali Kenaikan PPN 12 Persen

Shinta menilai pemerintah kurang cermat dalam membuat kenaikan PPN 12 persen

ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc/aa.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Rep: Muhammad Nursyamsi Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurut Shinta, kebijakan ini berpotensi memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan pelaku usaha sektor formal.


"Kami mengimbau agar pemerintah mengkaji lagi kenaikan PPN menjadi 12 persen agar tidak membebani masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha sektor formal," ujar Shinta saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Senin (18/11/2024)).

Shinta menilai pemerintah kurang cermat dalam membuat keputusan tersebut. Shinta menyampaikan pemerintah seharusnya bisa lebih bijak dalam mencari waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN tersebut.

"Idealnya, kenaikan PPN terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sedang tinggi sehingga tidak menjadi beban terhadap potensi pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Jadi perlu dipertimbangkan waktunya," ucap Shinta.

Shinta menyoroti pelaku usaha di sektor formal akan terdampak secara tidak langsung melalui potensi penurunan penjualan. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan harga barang dan jasa yang sudah termasuk PPN.

"Pasca kenaikan PPN menjadi 12 persen, masyarakat akan melihat harga barang dan jasa di sektor formal menjadi lebih mahal. Ini tentu akan mengurangi konsumsi dan daya beli konsumen terhadap barang dan jasa sektor formal," lanjut Shinta.

Berdasarkan temuan Apindo, Shinta sampaikan, empat dari sepuluh pelaku usaha di Indonesia saat ini menghadapi stagnasi penjualan atau pertumbuhan penjualan kurang dari tiga persen. Dengan gejala penurunan daya beli yang terjadi, Shinta menilai kenaikan PPN hanya akan semakin menekan kinerja sektor riil, khususnya usaha formal.

"Tentu saja kondisi ini secara struktural tidak baik karena semakin membebani masyarakat ketika kondisi daya beli masyarakat masih rentan mengalami penurunan yang lebih dalam," sambung Shinta.

Shinta mengatakan kebijakan kenaikan PPN tidak memberikan insentif bagi pertumbuhan sektor ekonomi formal. Sebaliknya, justru rentan memperluas skala ekonomi informal yang berdampak buruk pada struktur ekonomi jangka menengah dan panjang.

"Kenaikan PPN saat ini juga tidak menginsentifkan pertumbuhan sektor ekonomi formal. Sebaliknya, ini rentan menambah skala sektor ekonomi informal, yang menciptakan beban pertumbuhan ekonomi dalam bentuk kesulitan meningkatkan tax ratio dan kesejahteraan pekerja di sektor informal," ujar Shinta.

Menurut Shinta, sektor informal yang tidak terikat aturan pajak dan ketenagakerjaan menyulitkan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara, menciptakan perlindungan tenaga kerja, serta meningkatkan skala ekonomi. Kondisi ini juga merugikan konsumen, yang mungkin harus memilih produk dan jasa dari sektor informal dengan kualitas yang tidak selalu terjamin.

"Ini bisa menciptakan kekacauan dan 'stunting' pertumbuhan ekonomi karena sektor informal tidak memberikan kontribusi pajak, tidak dapat diatur aktivitasnya secara legal dan juga tidak bisa berkembang dalam skala ekonomi," kata Shinta.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler