Setelah Ada Surat ICC, Bisakah Indonesia Tangkap Netanyahu?
Sebanyak 124 negara wajib menangkap Netanyahu di wilayah mereka.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Mahkamah Pidana Internasional (ICC) akhirnya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Galant. Negara mana saja yang bisa melakukan penangkapan? Apakah Indonesia bisa melakukan penangkapan tersebut jika Netanyahu berkunjung?
Dalam Pasal 86 Statuta Roma diatur bahwa “Negara-Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta ini, harus bekerja sama sepenuhnya dengan Mahkamah dalam penyidikan dan penuntutannya terhadap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan.”
Artinya, seluruh 124 negara anggota ICC diwajibkan oleh regulasi itu untuk menangkap dan menyerahkan setiap individu yang tunduk pada surat perintah penangkapan ICC jika mereka menginjakkan kaki di wilayah mereka. Dari jumlah anggota tersebut, 33 negara berasal dari Afrika, 19 negara Asia Pasifik, 19 negara Eropa Timur, 28 negara Amerika Latin dan Karibia, dan 25 negara Eropa Barat dan negara lain.
Anggota ICC mencakup seluruh negara Uni Eropa, Inggris, Kanada, Jepang, Brasil, dan Australia. Di kawasan Timur Tengah, wilayah Palestina dan Yordania merupakan anggota ICC. Israel bukan negara anggota, begitu pula Amerika Serikat, Rusia, dan Cina.
Reuters melansir, ICC mendasarkan yurisdiksinya terhadap pejabat Israel pada fakta bahwa wilayah Palestina diakui sebagai negara anggota pada 2015. Mahkamah dapat menuntut dugaan kejahatan kekejaman yang dilakukan oleh warga negara dari negara-negara anggota dan kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun, terlepas dari kewarganegaraan mereka, berdasarkan hukum wilayah negara-negara anggota.
ICC tidak memiliki kepolisian atau mekanisme penegakan hukum sendiri, namun surat perintah tersebut akan sangat membatasi pilihan perjalanan para terdakwa.
Indonesia sejauh ini bukan penandatangan Statuta Roma. Mantan menlu Retno LP Marsudi menerangkan bahwa sejauh ini belum ada konsensus pihak-pihak terkait di Indonesia atas hal itu. “Jadi, sebuah ratifikasi itu harus didasarkan pada sebuah konsensus nasional. Proses ratifikasi, apalagi untuk hal yang sifatnya penting seperti itu, memang selalu memakan waktu lama. Karena perlu sebuah konsensus bulat dari semua kepentingan nasional. Proses ini sedang berjalan, terus berjalan,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Republika beberapa waktu lalu.
Bagaimanapun, negara nonanggota pun mendapat tekanan untuk melakukan penangkapan seturut surat perintah ICC. Artinya, secara umum penangkapan bisa dilakukan oleh negara nonanggota ICC seperti Indonesia. Meski dalam praktiknya, negara-negara nonanggota yang kuat seperti AS, Rusia, dan Cina akan mengabaikan tekanan tersebut.
Sanksi bagi mereka yang tidak menangkap seseorang meskipun sudah ada surat perintah penangkapan tidak lebih dari sekedar tamparan diplomatis. Contohnya penyerahan suatu negara ke badan pengatur ICC yang terdiri dari negara-negara anggota dan akhirnya ke Dewan Keamanan PBB.
Jika ada pihak yang ditangkap, mereka akan dibawa ke Den Haag di mana mereka akan menghadapi sidang pra-peradilan di mana jaksa penuntut akan memberikan bukti yang cukup untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan.
Para tersangka akan didampingi oleh pembela dan dapat menantang penuntutan serta bukti-buktinya. ICC tidak mengizinkan proses apapun secara in-absentia. Artinya tersangka harus hadir secara fisik di Den Haag agar persidangan dapat dimulai.
Peraturan pengadilan mengizinkan Dewan Keamanan PBB untuk mengadopsi resolusi yang akan menghentikan sementara atau menunda penyelidikan atau penuntutan selama satu tahun, dengan kemungkinan untuk memperbaruinya setiap tahun. Setelah surat perintah dikeluarkan, negara yang terlibat atau orang yang disebutkan dalam surat perintah penangkapan juga dapat mengajukan keberatan terhadap yurisdiksi pengadilan atau diterimanya kasus tersebut.
Suatu kasus dapat dianggap tidak dapat diterima di ICC jika kasus tersebut sudah diselidiki atau dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dituduhkan. Ini sempat coba dilakukan Israel yang meluncurkan “investigasi” terhadap Netanyahu dan Gallant selepas ada pengajuan surat penangkapan.
Namun pengadilan telah memperjelas di masa lalu bahwa pengecualian ini hanya bisa berlaku ketika suatu negara sedang menyelidiki atau menuntut orang yang sama atas tuduhan kejahatan yang secara substansial sama. Investigasi terhadap tuduhan korupsi, misalnya, tidak akan memenuhi aturan “orang yang sama, perilaku yang sama”.
Bagaimanapun, penerbitan surat perintah penangkapan ICC bukanlah larangan perjalanan resmi. Namun, Netanyahu dan Gallant berisiko ditangkap jika mereka melakukan perjalanan ke negara penandatangan ICC, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh para terdakwa.
Tidak ada batasan bagi para pemimpin politik, anggota parlemen, atau diplomat untuk bertemu dengan individu yang memiliki surat perintah penangkapan ICC. Namun secara politis, persepsi masyarakat mengenai hal ini mungkin buruk.