Meta dan Google Desak Australia Tunda RUU Larangan Medsos untuk Anak di Bawah 16 Tahun

Pemerintah Australia disarankan menunggu hasil uji coba sistem verifikasi usia.

AP
Logo Meta. Meta dan Google mendesak Pemerintah Australia menunda rancangan undang-undang (RUU) yang melarang sebagian besar bentuk media sosial untuk anak di bawah 16 tahun.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Google dan Meta Platforms, induk perusahaan Instagram dan Facebook, mendesak Pemerintah Australia menunda rancangan undang-undang (RUU) yang melarang sebagian besar bentuk media sosial untuk anak di bawah 16 tahun. Mereka beralasan, pemerintah memerlukan lebih banyak waktu untuk mengevaluasi aturan tersebut.

Baca Juga


RUU yang diusulkan pemerintah berhaluan tengah-kiri yang dipimpin Perdana Menteri Anthony Albanese, dinilai sebagai salah satu regulasi terketat terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak. Pemerintah ingin RUU ini disahkan menjadi Undang-undang sebelum akhir masa sidang parlemen pada Kami mendatang.

RUU tersebut diperkenalkan di parlemen pada pekan lalu, dan hanya membuka satu hari untuk menerima masukan dari publik. Sementara itu, Google dan Meta menyarankan Pemerintah Australia menunggu hasil uji coba sistem verifikasi usia sebelum melanjutkan pengesahan. Sistem verifikasi usia dapat mencakup biometrik atau identifikasi pemerintah untuk menegakkan batas usia media sosial.

"Jika tidak ada hasil seperti itu, baik industri maupun warga Australia tidak akan memahami skala atau mekanisme jaminan usia yang diwajibkan oleh RUU tersebut, maupun dampak dari tindakan tersebut terhadap warga Australia. Dalam bentuknya saat ini, RUU tersebut tidak konsisten dan tidak efektif,” demikian kata Meta dalam pernyataannya, dilansir Reuters, Rabu (27/11/2024).

RUU ini akan memaksa platform media sosial, bukan orang tua atau anak-anak, untuk mengambil langkah-langkah yang wajar guna memastikan perlindungan verifikasi usia tersedia. Perusahaan yang melanggar secara sistemik dapat dikenai sanksi hingga 32 juta dolar AS atau sekitar Rp 509 miliar.

Partai Liberal yang beroposisi diperkirakan akan mendukung RUU tersebut, meskipun sejumlah anggota parlemen independen menilai pemerintah terlalu terburu-buru, hanya memberikan waktu sepekan untuk merampungkan proses legislasi. TikTok juga mengkritik RUU tersebut. Platform media sosial milik Bytedance itu menilai aturan tersebut kurang transparansi dan minim konsultasi dengan para ahli, platform, organisasi kesehatan mental, dan kaum muda.

"Jika kebijakan baru diusulkan, penting bahwa undang-undang tersebut dirancang secara menyeluruh dan matang, untuk memastikannya dapat mencapai maksud yang dinyatakan. Ini tidak terjadi sehubungan dengan RUU ini," kata TikTok.

X dari Elon Musk menyuarakan kekhawatiran bahwa RUU tersebut akan berdampak negatif pada hak asasi manusia anak-anak dan kaum muda, termasuk hak mereka atas kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi. Miliarder AS tersebut, yang menganggap dirinya sebagai pejuang kebebasan berbicara, pekan lalu mengkritik pemerintah Australia dengan mengatakan bahwa RUU tersebut tampak seperti cara tersembunyi untuk mengendalikan akses ke internet.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler