80 Persen Disabilitas Netra Muslim tak Bisa Baca Alquran Braille
Jumlah guru pengajar Alquran Braille dinilai masih sangat sedikit.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) mengungkap jika sebanyak 80 persen dari dua juta tunanetra Muslim di Indonesia tidak bisa membaca Alquran Braille.
Ketua ITMI Yogi Madsuni menjelaskan, dari sekitar empat juta disabilitas netra yang ada di Indonesia, separuhnya adalah Muslim. "Kami melakukan identifikasi dan melakukan assessment, yang dari dua juta itu baru sekitar 20 persen. Bahkan mungkin kurang dari 20 persen yang bisa baca Alquran. Selebihnya belum bisa," jelas Yogi saat ditemui Republika di Jakarta, pekan lalu.
Yogi menjelaskan, tingginya jumlah buta huruf Alquran Braille bukan disebabkan sulitnya akses terhadap Alquran Braille. Menurut Yogi, mushaf standar braille masih sangat cukup mengingat banyak komunitas yang memberikan wakaf Alquran berhuruf timbul tersebut. Beberapa diantara mereka bahkan melakukan pencetakan Alquran Braille.
Menurut Yogi, permasalahannya ada pada jumlah guru pengajar Alquran Braille yang masih sangat sedikit. Dia mencontohkan, jumlah disabilitas netra Muslim di daerah Bogor sekitar 500 orang.
Mayoritas belum bisa membaca Alquran Braille akibat minimnya pengajar di daerah tersebut. Begitu pula, ujar dia, jumlah pengajar Alquran Braille di Jakarta yang dapat dihitung dengan jari.
"Belum lagi yang daerah-daerah lainnya. Apalagi kalau kita sudah bicara di Pulau Jawa, karena kami (ITMI) sudah ada di 27 provinsi dan di 167 kabupaten-kota," jelas dia.
Padahal, dia menjelaskan, Indonesia butuh setidaknya satu juta orang pengajar Alquran Braille untuk mengajar dua juta disabilitas netra Muslim. Untuk mengentaskan buta aksara tersebut, ITMI bersama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) Kementerian Agama pun telah merumuskan modul pembelajaran Alquran Braille. Modul pembelajarannya berjenjang dari tingkat dasar hingga mahir.
Selain itu, menurut dia, ITMI menggelar training of traniner (ToT) di berbagai daerah untuk melahirkan para pengajar Alquran Braille untuk disabilitas netra. Dia menargetkan, program tersebut bisa mencetak setidaknya seribu trainer.
"Jadi selama ini lebih banyak pengadaan Alqurannya daripada training-nya atau pembinaannya. Padahal ini sangat penting," ujar dia.
Permasalahan yang diungkapkan Yogi terbukti di lapangan. Sekolah Luar Biasa (SLB) Al Irsyad Al Islamiyyah yang berada di Kota Bogor, harus memindahkan anak-anak disabilitas netra ke sekolah lain karena sulitnya menemukan guru khusus untuk mereka. Sekolah yang mengasuh 112 siswa disabilitas ini kini tinggal mendidik anak-anak tuli, disabilitas grahita, disabilitas daksa, dan autis.
Kepala SLB Al Irsyad Al Islamiyyah di Kota Bogor, Susan Azis Thalib mengungkapkan, jangankan untuk guru yang mengajari Alquran Braille, guru untuk siswa disabilitas netra saja sulit ditemukan. Dia menjelaskan, guru Alquran Braille bukan sekadar sulit tetapi langka.
"Sangat pak, sangat, sangat pak, sangat membutuhkan guru membaca Alquran braille, di Bogor Kota bisa dihitung dengan jari jumlah guru SLB yang mengajar membaca Alquran Braille dan mengajar membaca huruf braille," kata Susan saat berbincang dengan Republika, Senin (25/11/2024).
Ia menyampaikan, untuk mengatasi kekurangan guru SLB, direkrutlah guru sekolah umum untuk mengajar di SLB. "Guru SLB sangat kekurangan, jadi kita terpaksa rekrut guru-guru yang non-SLB, padahal guru SLB itu khusus (yang punya kemampuan khusus mengajar siswa disabilitas)," ujar Susan.
Dia mengungkapkan, perhatian pemerintah terhadap guru dan siswa SLB dirasa sangat minim khususnya terhadap mereka yang disabilitas netra. Susan menaruh harapan besar terhadap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) yang sekarang. Dia merasa menteri sebelumnya kurang perhatian terhadap siswa dan guru SLB.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Baharudin menjelaskan, langkanya pengajar Alquran Braille terjadi karena jumlah SLB yang khusus menerima peserta didik disabilitas netra saat ini hanya sedikit. Kalaupun ada SLB yang sudah menerima peserta didik dengan ragam kekhususan pun, dia mengatakan, jumlah peserta didik disabilitas netra hanya sedikit.
Di sisi lain, ujar dia, jumlah guru yang memahami sistem simbol braille Indonesia itu diantaranya sistem simbol Arab braille masih sangat kurang. Baharuddin mengungkapkan, pihaknya sudah mencetak banyak buku braille kemudian bekerja sama dengan Kementerian Agama khusus Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ). Hanya saja, belum ada tenaga khusus untuk Alquran Braille.
”Pada prinsipnya pemerintah terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan guru pengajar Alquran braille. Hanya saja penerimaan atau ketika dibuka misalnya lowongan terkait dengan guru-guru ini, tidak banyak yang memenuhi kuota,” ujar dia.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, penambahan jumlah guru SLB merupakan kewenangan di provinsi. Sementara itu, penambahan jumlah guru agama SLB merupakan tanggung jawabnya Kementerian Agama.
“Tanggung jawabnya tidak hanya di Kemendikdasmen,” kata dia.