Dari Etika, Bersemi Manusia yang Seutuhnya

Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia, yang melibatkan berbagai aspek sosial dan budaya, serta mempersiapkan individu untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Namun, selain pengetahuan, karakter seperti etika, adab, dan moral

retizen /Rizky Rosyadi
.
Rep: Rizky Rosyadi Red: Retizen
sumber: hidayatullah.com

Dari Etika, Bersemi Manusia yang Seutuhnya


Pendidikan sejatinya adalah proses untuk memanusiakan manusia. Karena itu, dunia pendidikan sangat kompleks. Menantang, namun sangat mulia. Dia mencakup beragam aspek sosisal dan budaya. Oleh karena itu, kementerian pendidikan disebut dengan KEMENDIKBUD bukan KEMENDIK saja. Dunia pendidikan menjadikan manusia sebagai pemeran utamanya, oleh karena itu ia tak pernah luput dari segala sesuatu yang ada pada manusia, termasuk pengetahuan, dan teknologi yang berkembang.

Dari sinilah kemudian muncul istilah nilai, untuk menjadi standar seberapa jauh capaian manusia dalam berkarya dan berprestasi. Namun, taukah kita? Bahwa ada satu hal yang tidak bisa kita nilai, bukan karena tak bernialai, tapi karena tak ternilai. Ia mungkin tidak pernah tertuang dalam barisan angka didalam raport, sering kita bahas dalam diskusi-diskusi ilmiah serta mudah ditemukan dalam tumpukan teori yang setiap hari kita bincangkan, ironinya ia juga sering kita abaikan.

Dialah karakter, yang mencakup etika, adab, dan moral. Dengan “dipaksa” menghafalkan setumpuk buku tentang karakter, anak hanya akan faham tentang teori kebaikan saja, padahal mereka membutuhkan cermin untuk merefleksi kebaikan yang ada dalam dirinya sendiri. Bukankah didalam Islam telah banyak diajarkan untuk mendidik anak akhlak yang baik?

Seperti halnya sabda Rasulullah:

“Tak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih utama dibanding budi pekerti yang baik” (HR. Tirmidzi).

Saat ini kita semua menyaksikan, gejala kegersangan sosial, seperti beruknya budi pekerti, etika, kesantunan, dan kehangatan interaksi sosial. Kalau kita cermati, betapa banyak anak-anak zaman sekarang yang bersikap kasar kepada orang tua, gagal faham karena menyepelekan peran dan pesan guru. Interaksi dan komunikasi sosial terasa sangat kering. Ini salah satu tanda kegersangan sosial.

Pagi itu, anak-anak kelas XII terdengar gaduh dalam obrolan asik mereka, hingga lupa bahwa ada satu kewajiban yang harus ditunaikan, “Piket kelas!”. Kemudian seorang guru datang menghampiri. Tanpa sepatah kata apapun, la kemudian menggenggam dua sapu di sebelah kanan dan kirinya, sembari menyapu kelas dalam belantara riuh asyik anak-anak.

Perlahan, suara riuh mulai terbenam, dan tergantikan dengan bisikan kecil anak-anak “sudah-sudah, ayo kita bersihkan kelas”. Beberapa siswa-pun meluapkan hasil empatinya “Pak, biar kami yang bersihkan”.

Meskipun tanpa bicara, anak tahu makna yang tersirat dalam bahasa teladan. Karena karakter sebenarnya lahir dari teladan yang menggerakkan.

Saat itu mereka tengah belajar tentang empati, empati diyakini para ahli sebagai inti emosi moral yang membantu anak didik memahami orang lain. Empati membuat mereka peka terhadap kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk saling menolong dan saling mengasihi. Teori tentang akhlak etika dan dalil tentang tata krama, itu hanya menambah pengetahuan mereka akan kebaikan. Penting, tapi tidak cukup.

Para pendidik bangsa ini dulu mendirikan sekolah agar anak-anak didik mereka bukan hanya mengetahui yang baik, tapi juga mencintai yang baik, dan mengamalkan yang baik. Anak-anak mencium tangan, bukan karena takut hukuman, tapi karena mencintai kebaikan dan menghormati para teladan.

Sumber: smpnegeri11solo.sch.id

Bermodal Keteladanan dan Pembiasaan

Karakter mulia dimulai dari pengetahuan akan kebaikan, lalu memunculkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan, setidaknya perlu dua hal utama selain pengajaran: modeling (keteladanan) dan Habbit (kebiasaan).

Pertama, Keteladanan; kebaikan adalah fitroh, dia adalah sifat bawaan yang diberikan Allah khusus untuk manusia. Para ahli psikologi serta ahli neuron-pun tidak membantah, bahwa otak manusia memang dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain membuat seseorang merasa nyaman dan berbagi terasa menyenangkan. Jadi, anak-anak pada dasarnya butuh cermin yang bisa memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka. Mereka sebenarnya haus kreatifitas dari orang-orang dewasa untuk ditiru, mereka butuh rangsangan untuk melejitkan fitrah kebaikannya.

Sumber: journey.sekolahauliya.sch.id

Kedua, pembiasaan; artinya mengukir kebaikan kepada anak-anak untuk memahami, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik secara terus menerus. Sehingga perilaku baik terpahatkan menjadi karakter. Bukankah kakek kita sering menasihati:

Belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.”

Uniknya, pembentukan karakter sangat efektif pada usia formatif. Para ahli menyebutnya sebagai usia emas (golden age). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.

Bunga dari pembiasaan adalah tradisi, kemudian berbuah menjadi budaya, yang bersemi karakter. Namun, untuk menetaskan karakter atau budaya membutuhkan waktu (sabar), proses yang berkelanjutan atau terus menerus (istiqomah), melibatkan emosi (ikhlas) dengan cara yang inovatif, serta melibatkan para pendidik untuk mengenalkan kebaikan dan menjadi teladan (orang tua, guru, masyarakat).

Sekolah misalnya, dengan membangun budaya sekolah yang kuat tentang etika, akhlak, dan tata krama, maka separuh dari persoalan anak sudah terselesaikan. Orang tua haruslah terus menerus menancapkan perannya sebagai “guru” pertama bagi anak dalam pembentukan karakter tersebut. Singkatnya, orangtua membangun fondasi, kemudian sekolah mendirikan bangunan diatasnya.

Pendidikan (baik formal maupun non formal), marilah kita bangun untuk memiliki peran sentral dalam pembangunan manusia yang utuh dan membangun tatanan sosial yang teduh. Jadikan anak-anak kita menjadi generasi yang bukan hanya mencintai, tapi mengamalkan ilmu juga etika, dengan diboncengi perasaan senang datang ke sekolah hingga pulang sekolah.

Kita akan menyaksikan mata yang berbinar, senyum lebar, dan wajah ceria anak-anak ketika melakukan kebaikan. Bagaimanapun, mereka adalah wajah masa depan bangsa ini di kemudian hari. (dpr)

sumber : https://retizen.id/posts/490791/dari-etika-bersemi-manusia-yang-seutuhnya
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler