Ekonom Peringatkan Dampak Luas Penurunan Harga Tiket Pesawat

Dampak penurunan harga tiket pesawat ke konsumsi relatif kecil.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Aktivitas penerbangan terlihat di landasan pacu selatan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (28/11/2024). Pemerintah sepakat menurunkan harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik sebesar 10 persen selama periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025, untuk membantu masyarakat dalam rangka mengurangi beban harga tiket di seluruh bandara di Indonesia.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat demi meningkatkan daya beli masyarakat menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) menuai berbagai pandangan. Para ekonom memperingatkan dampak yang lebih luas terhadap sektor penerbangan dan perekonomian secara keseluruhan jika kebijakan tersebut diterapkan tanpa perencanaan matang.  

Baca Juga


Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF M. Rizal Taufikurahman, penurunan harga tiket pesawat menjelang Nataru memang berpotensi mendorong konsumsi, tetapi dampaknya relatif kecil dibanding sektor lain seperti makanan dan minuman.  

"Penurunan tiket ini tidak akan men-drive konsumsi jauh lebih baik. Konsumsi tiket pesawat lebih cenderung dinikmati oleh kelompok tertentu, seperti mereka yang belum pulang kampung," jelas Rizal dalam diskusi publik PPN 12 Persen, Solusi atau Beban Baru? yang diselenggarakan INDEF & Universitas Paramadina secara daring, Senin (2/12/2024).

Rizal juga menambahkan, masyarakat cenderung lebih rasional dalam mengelola pendapatannya, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. Mereka lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibandingkan pengeluaran untuk perjalanan.  

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Sarmin menyoroti dampak penurunan harga tiket pesawat terhadap stabilitas maskapai, terutama yang sudah menghadapi tekanan finansial.  

“Jika harga tiket dipaksa turun sementara komponen biaya operasional seperti bahan bakar dan biaya bandara tetap tinggi, maskapai seperti Garuda Indonesia yang kondisinya sudah sulit akan semakin terbebani,” kata Wijayanto.  

Ia memperingatkan intervensi semacam ini dapat menciptakan market disruption, di mana pasar kehilangan efisiensinya. Hal ini dapat memicu potensi kerugian jangka panjang yang lebih besar.  

"Memaksakan penurunan harga tiket tanpa penyesuaian biaya dalam rantai pasok dapat menyebabkan dead weight loss yakni hilangnya efisiensi ekonomi secara keseluruhan," tambahnya.  

 

Baik Rizal maupun Sarmin sepakat kebijakan penurunan harga tiket pesawat harus diimbangi dengan langkah-langkah lain agar tidak merugikan sektor penerbangan. Beberapa alternatif yang diusulkan adalah pemerintah dapat memberikan subsidi pada komponen biaya tertentu seperti bahan bakar atau biaya bandara.  

Selanjutnya adalah fokus pada sektor makanan dan minuman yang lebih berdampak langsung pada peningkatan konsumsi selama libur Nataru.  Ketiga, membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan membiarkan harga tiket mengikuti aturan interval harga yang sudah ditentukan untuk menjaga keseimbangan pasar.  

“Biarkan harga tiket menyesuaikan dengan kondisi pasar. Hal ini lebih efisien dan tidak mengganggu solvabilitas maskapai,” tegas Rizal.  

Penurunan harga tiket pesawat memang menguntungkan konsumen secara langsung, tetapi dampaknya pada konsumsi nasional dinilai tidak signifikan. Di sisi lain, kebijakan ini dapat memberikan tekanan besar pada maskapai penerbangan dan menciptakan gangguan pasar.

Pemerinrtah disarankan untuk mengambil langkah yang lebih terukur agar kebijakan yang diambil tidak hanya berdampak jangka pendek, tetapi juga mendukung stabilitas ekonomi jangka panjang.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler