Angka Kelahiran di Korea Selatan Kian Menyusut, Apa Penyebabnya?

Penduduk Korsel diprediksi hanya akan memiliki 17 juta penduduk pada akhir abad ini.

EPA-EFE/YONHAP SOUTH KOREA OUT ID: 8426427
Ibu dan bayi di Korea Selatan (ilustrasi). Korea Selatan menghadapi angka kelahiran yang terus menurun.
Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Korea Selatan kini tengah menghadapi tantangan serius yang mengancam keberlangsungannya yaitu krisis demografi. Angka kelahiran yang terus menurun drastis memicu kekhawatiran akan masa depan negara tersebut.

Baca Juga


Korea Selatan, yang dulunya merupakan contoh pesatnya pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, kini tengah bergulat dengan krisis angka kelahiran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Angka kelahiran negara itu telah anjlok ke tingkat yang sangat rendah. Jika tren ini berlanjut, populasi Korea Selatan dapat menyusut hingga sepertiga dari jumlah populasinya sekarang pada akhir abad ini. Namun, kisah di balik penurunan yang mengkhawatirkan ini jauh lebih kompleks, yang melibatkan tidak hanya tekanan sosial-ekonomi tetapi juga ketegangan gender yang mengakar yang telah mendidih selama bertahun-tahun.

Dilansir laman The Economic Times, penurunan angka kelahiran Korea Selatan dimulai sebagai bagian dari kebijakan keluarga berencana yang disengaja. Pada 1960-an, pemerintah yang khawatir tentang pertumbuhan populasi yang melampaui pembangunan ekonomi, melakukan langkah-langkah untuk mengurangi angka kelahiran.

Pada saat itu, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya 20 persen dari rata-rata global. Angka kelahiran berada pada angka yang mengejutkan yaitu 6 anak per wanita. Pada 1982, ketika ekonomi sedang berkembang pesat, angka kelahiran turun menjadi 2,4; masih di atas tingkat penggantian sebesar 2,1 tetapi menuju arah yang benar.

Pada 1983, angka kelahiran turun, dan sejak saat itu, angka tersebut mengalami penurunan yang cepat. Penurunan yang sebelumnya terkontrol dengan hati-hati kini telah menjadi krisis, dengan proyeksi yang menunjukkan populasi Korea Selatan menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini.

Dalam skenario terburuk, beberapa prediksi menyebut negara tersebut dapat kehilangan hingga 70 persen populasinya, sehingga hanya menyisakan 14 juta orang. Jika ini terjadi, maka dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan menciptakan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meskipun ada upaya untuk membalikkan penurunan angka kelahiran, termasuk insentif keuangan dan inisiatif pemerintah, namun hal itu belum berhasil. Korea Selatan menerapkan kebijakan untuk mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi, seperti merekrut pekerja rumah tangga asing untuk mengasuh anak, menawarkan keringanan pajak, bahkan mengusulkan untuk membebaskan laki-laki dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak atau lebih pada usia 30 tahun. Namun sejauh ini, langkah-langkah ini tak banyak berpengaruh.

Akar penyebab masalah ini terletak pada lanskap sosial dan budaya negara tersebut. Banyak perempuan, terutama di daerah perkotaan, memprioritaskan karier daripada memulai keluarga, dengan lebih dari separuh responden dalam survei pemerintah tahun 2023 menyebutkan "beban mengasuh anak" sebagai hambatan terbesar bagi perempuan untuk bekerja.

Meningkatnya rumah tangga berpenghasilan ganda dan akses yang lebih besar terhadap pendidikan telah memberdayakan perempuan untuk menunda atau sama sekali tidak menikah dan melahirkan. Selain itu, pernikahan itu sendiri tidak lagi dianggap penting untuk memiliki anak di Negeri Ginseng. Selama dekade terakhir, persentase orang yang menerima untuk memiliki anak di luar nikah telah meningkat dari 22 persen menjadi 35 persen, meskipun hanya 2,5 anak yang lahir di luar nikah di Korea Selatan.

Bagi mereka yang menikah, perempuan menuntut lebih banyak kesetaraan dalam tanggung jawab rumah tangga. Kesenjangan gender yang mencolok masih terjadi, dengan 92 persen perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga pada hari kerja dibandingkan dengan hanya 61 persen laki-laki.

Kesenjangan ini telah menyebabkan kekecewaan yang meluas terhadap peran pernikahan tradisional. Faktanya, survei tahun 2024 mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di Korea Selatan tidak ingin menikah, dengan 93 persen yang mengejutkan menyebutkan beban pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak sebagai alasan utama.

Kesenjangan gender di Korea Selatan mungkin merupakan salah satu faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap krisis fertilitas. Sementara perempuan semakin mencari hubungan yang setara.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, yang memenangkan pemilihan tahun 2022 dengan menarik perhatian para pemilih laki-laki yang kecewa, telah menyerukan penghapusan kuota gender, bahkan menyatakan bahwa feminisme adalah akar penyebab memburuknya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini telah memicu pertikaian politik dan budaya yang sengit, dengan sikap presiden terhadap kesetaraan gender yang menuai kritik dari aktivis hak-hak perempuan dan semakin memecah belah masyarakat.

Korea Selatan berada di peringkat terendah di Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam hal kesetaraan gender, yaitu di peringkat ke-94 secara global. Negara ini tertinggal dalam bidang-bidang utama seperti partisipasi ekonomi (peringkat ke-112), pendidikan (peringkat ke-100), pemberdayaan politik (peringkat ke-72), dan kesehatan (peringkat ke-47).

Ketidakseimbangan gender ini telah memicu rasa frustrasi di kedua belah pihak, dengan perempuan menuntut kesempatan yang lebih setara dan laki-laki mengungkapkan rasa tidak suka terhadap kebijakan yang mereka anggap berpihak pada perempuan.

Krisis fertilitas Korea Selatan bukan hanya tantangan demografis. Ini merupakan cerminan dari ketidaksetaraan gender dan konflik budaya yang mengakar di negara tersebut. Karena populasi terus menua dan menyusut, negara tersebut menghadapi tugas yang berat untuk mengatasi masalah ini sambil menavigasi kompleksitas keluarga, pekerjaan, dan peran gender.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler