Eutanasia : Antara Hak Individu dan Martabat Hidup

Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, praktik eutanasia mendapat penolakan keras.

network /kampus
.
Rep: kampus Red: Partner
Saat ini beberapa negara telah melegalkan dan mengatur ketat praktik eutanasia. Ilustasi. Foto : istimewa

Saffanah Atheeya Syarah


Peserta Mata Kuliah Filsafat dan Etika Administrasi, Program Studi Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Ketika berbicara tentang etika, kita sering dihadapkan pada situasi yang tidak hitam dan putih. Adams, Tashchian, dan Shore (2001) dalam Journal of Business Ethics membahas kode etik sebagai sinyal perilaku etis. Setiap keputusan etis memerlukan pertimbangan mendalam terhadap berbagai aspek - mulai dari prinsip dasar hingga dampak praktisnya.

Diskusi mengenai eutanasia membawa kita pada perdebatan moral yang jauh lebih kompleks. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana kita menyeimbangkan antara nilai kehidupan yang sakral dengan hak individu untuk mengakhiri penderitaan?

Etika merupakan pondasi yang membentuk perilaku manusia dalam bermasyarakat. Lebih dari sekadar aturan tertulis, etika mencerminkan nilai-nilai moral yang menjadi kompas dalam pengambilan keputusan dan tindakan sehari-hari. Pemahaman mendalam tentang etika sangat krusial - tidak hanya dalam konteks pribadi, tetapi juga dalam ranah profesional, sosial, dan bahkan digital. Etika bukan sekadar tentang membedakan yang benar dan yang salah, melainkan tentang memahami nuansa dari setiap pilihan moral yang kita hadapi.

Eutanasia, berasal dari kata Yunani "eu" (baik) dan "thanatos" (kematian). Fontalis, Prousali, dan Kulkarni (2018) menjelaskan arti eutanasia dalam Journal of the Royal Society of Medicine. Eutanasia diartikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang dengan tujuan menghentikan penderitaannya. Praktik ini memunculkan pertanyaan mengenai hak individu dalam mengakhiri penderitaan serta dilema etis yang dihadapi oleh pihak yang mengambil keputusan. Saat ini beberapa negara telah melegalkan dan mengatur ketat praktik eutanasia. Negara lain masih menganggap eutanasia sebagai tindakan kontroversial dan ilegal.

Perdebatan tentang eutanasia tidak terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran yang melampaui kemampuan manusia memahami dan mengatasi dampak dari kemajuan tersebut. Teknologi modern telah membuka kemungkinan untuk memperpanjang hidup manusia dengan cara-cara yang sebelumnya tidak terbayangkan. Namun, kemampuan ini menciptakan dilema etis ketika berhadapan dengan pertimbangan kualitas hidup dan hak-hak pasien.

Eutanasia di Indonesia

Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, praktik eutanasia mendapat penolakan keras karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan agama. Meski demikian, terdapat beberapa kasus penting yang terdokumentasi dalam sejarah Indonesia terkait upaya legalisasi eutanasia.

Kasus pertama terjadi pada tahun 2004, ketika Hassan Kusuma mengajukan permohonan ke PN Jakarta Pusat untuk melakukan eutanasia terhadap istrinya. Saat itu, istri Hassan terbaring tidak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (DetikNews, 2004). Hassan mengajukan permohonan ini dengan dua pertimbangan utama yaitu kesulitan membiayai perawatan dan keinginan untuk mengakhiri penderitaan istrinya. Namun, pengadilan menolak permohonan tersebut. Alasan penolakan adalah pertentangan dengan nilai agama, belum adanya undang-undang yang mengatur, serta adanya harapan kesembuhan (Hastuti dan Dewi, 2005).

Setelah kasus Hassan yang menjadi titik balik pembahasan eutanasia di Indonesia, muncul beberapa kasus serupa. Pada tahun 2014, Ryan Tumiwa mengajukan gugatan terhadap Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengkriminalisasi eutanasia ke Mahkamah Konstitusi. Motivasi Ryan, yang didasari oleh depresi dan pengangguran, akhirnya berujung pada penarikan gugatannya, dan ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya.

Tiga tahun kemudian, pada Mei 2017, muncul kasus Berlin Silalahi di Banda Aceh (Edward S Kennedy dalam Tirto.id, 2018). Sebagai korban pasca-tsunami yang mengalami kelumpuhan, Berlin mengajukan permohonan eutanasia ke PN Banda Aceh karena kondisi hidupnya. Seperti kasus-kasus sebelumnya, permohonan ini ditolak berdasarkan pertimbangan hukum, etika, dan nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Aceh.

Hak untuk hidup vs hak untuk mati

Perdebatan antara hak untuk hidup dan hak untuk mati mencerminkan salah satu dilema etis paling fundamental dalam masyarakat modern. Hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar, yang diakui secara universal. Hak ini dilindungi dalam berbagai deklarasi internasional serta konstitusi nasional termasuk Indonesia. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak intrinsik untuk hidup, dengan negara berperan sebagai pelindung utama kehidupan warganya.

Sementara itu, konsep hak untuk mati hadir sebagai gagasan yang jauh lebih kontroversial. Pendukung konsep ini berargumen bahwa setiap individu seharusnya memiliki otonomi penuh atas tubuh dan kehidupannya. Otonomi penuh tersebut, termasuk hak untuk mengakhiri hidup dalam kondisi-kondisi tertentu seperti penyakit terminal atau penderitaan yang tidak terobati. Meskipun beberapa sistem hukum dan masyarakat telah mulai mengakui legitimasi konsep ini, perdebatan tentang implikasi etis, moral, dan sosialnya tetap berlangsung.

Perlukah euthanasia dilegalkan ?

Eutanasia memang menimbulkan perdebatan etika yang sengit di berbagai belahan dunia. Di satu sisi, ada argumen yang mendukung eutanasia sebagai ekspresi otonomi pasien dan hak untuk mengakhiri penderitaan. Di sisi lain, ada kekhawatiran mendalam tentang potensi penyalahgunaan dan dampaknya terhadap nilai-nilai sosial serta profesional medis. Dalam lima tahun terakhir, semakin banyak negara dan wilayah yang mulai melegalisasi eutanasia. Namun penelitian terbaru di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa terdapat alternatif lain yang jauh lebih bermanfaat bagi pasien dalam perawatan akhir hayat.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa sangatlah prematur untuk menyimpulkan secara etis bahwa eutanasia adalah solusi utama untuk mengatasi masalah 'kematian yang buruk'. Banyak opsi lain yang belum dimanfaatkan secara maksimal, yang bisa memberikan kontrol lebih kepada pasien atas kualitas hidup mereka. Di Indonesia, advokasi untuk legalisasi eutanasia dianggap masih terlalu dini. Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan opsi-opsi yang memungkinkan pasien untuk mengalami kematian yang lebih bermartabat dan terkontrol. Indonesia memiliki tanggung jawab etis yang besar untuk meningkatkan aspek administrasi berupa kebijakan dan akses ke layanan hospis yang berkualitas.

Oleh karena itu, sebelum bergerak ke arah legalisasi eutanasia, ada kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem dan administrasi perawatan kesehatan. Sistem dan administrasi kesehatan hendaknya memastikan bahwa semua pasien mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Ini adalah langkah penting yang tidak hanya menjawab kebutuhan fisik pasien, tetapi juga menghormati nilai-nilai etis dan sosial di masyarakat kita.(*)

Artikel ini ditulis sebagai salah satu kewajiban dalam Mata Kuliah Filsafat dan Etika Administrasi.

sumber : https://kampus.republika.co.id/posts/492302/eutanasia-antara-hak-individu-dan-martabat-hidup
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler