Dewan Dakwah Tangerang Maksimalkan Potensi Dakwah di Masyarakat
Dewan Dakwah terus maksimalkan kebutuhan dakwah di masyarakat.
Dewan Dakwah Tangerang Maksimalkan Potensi Dakwah di Masyarakat
SAJADA.ID, BOGOR-Dewan Dakwah Kabupaten Tangerang menggelar kegiatan Rapat Kerja sekaligus Evaluasi Program berjalan satu tahun terakhir di Pesantren Fityatul Islam, Bogor. Kegiatan yang yang dilaksanakan Sabtu-Ahad (7-8/11/2024) tersebut dihadiri hampir 90% jajaran pengurus lembaga.
Ketua Dewan Tangerang, Ustadz Said Ats Tsaqofy. M.Pd.I dalam sambutannya menyampaikan pentingnya menjaga ukhuwah dan kesolidan internal dalam. Dinamika dalam dakwah adalah sunatullah, yang terpenting bagaimana dinamika yang ada justru menjadi pengerat antar pengurus Dewan Dakwah sendiri. Ini sangat penting mengingat tantangan dakwah di Kabupaten Tangerang cukup kompleks. Di antara langkah menjaga kesolidan tersebut, diselenggarakan rapat kerja dengan agenda mengevaluasi program-program yang sudah digulirkan tahun lalu sekaligus menyusun rencana kerja ke depan.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Sekretaris Umum sekaligus Ketua Bidang Pengembangan Organisasi Dewan Dakwah Pusat, Dr. Ahmad Misbahul Anam, MA. Beliau merespons tentang pentingnya ukhuwah sekaligus mengingatkan kembali kepada semua pengurus, “Risalah merintis, da’wah melanjutkan”, Inilah pesan Allahuyarham Bapak Mohammad Natsir dalam salah satu buku karyanya “Fiqh Da’wah”.
Da’wah ini berulang, diteruskan oleh berbagai kalangan dari ummat Rasulullah, dengan karakteritisk dan model pendekatan yang selalu berbeda, dinamis secara waqi’iyyah serta prioritas. Pesan penting berikutnya adalah, “Musim berganti, masa berubah”, artinya perubahan bentuk serta model pendekatan da’wah juga mengalami perubahan juga sehingga perlu menyesuaikan dengan keperluan lapangan, khususnya dalam wilayah yang khas yaitu berda’wah.
Setidaknya ada lima warisan Pak Natsir dengan Dewan Dakwahnya yang harus terus dijaga dan dilanjutkan oleh para kader dakwah, yaitu warisan nilai-nilai perjuangan, warisan aset bangunan di berbagai wilayah di Indonesia, pengakuan sebagai lembaga yang diperhitungkan di kancah nasional maupun internasional, networking/jaringan baik yang sifatnya kelembagaan maupun personal, serta warisan historis tentang Pak Natsir sebagai pendiri Dewan Dakwah.
Sehingga ketika bicara tentang bagaimana memperkuat sinergi dan mengoptimalkan potensi da'wah maka sejatinya para kader dakwah perlu merenungkan firman Allah berikut,
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’, 28).
Lebih lanjut Ust. Misbah menjelaskan bahwa untuk menjalankan program da’wah yang semakin luas secara kewilayahan, semakin bertambah banyak secara personal, semakin berat beban da’wah yang harus mendapatkan perhatian, diperlukan beberapa prinsip perjuangan, yaitu:
Pertama, Da’watuna adalah da’wah ilallah bi al-mujahadah fillah, bukan da’wah ila nafsi. Kaidah ini mendasar dan perlu penjagaan yang terus menerus. Ia adalah inti dari naik dan turunnya da’wah itu sendiri. Intonasi dan invalidnya da’wah bermula dari sini. Seorang da’I akan tetap bersabar dan menekuni aktifitas ini karena ada kekuatan yang dilandasi oleh ilallah bi al-mujahadah fillah. Tapi jika bergeser sedikit, ketika da’wah diarahkan ke arah kepentingan pribadi –semoga Allah jauhkan dari hal ini- yang terjadi adalah kemalasan dan keluh kesah yang tidak pernah berakhir.
Kedua, Da’watuna adalah binaan wa difaan. Adalah kewajiban da’i untuk membina dan membereskan persoalan aqidah, syari’at dan akhlak. Mempertahankan adalah hal berikutnya yang tidak boleh terpisah dengan hal pertama.
Ketiga, Da’watuna adalah syari’ah wa nidhaman. Syari’ah dimaksudkan bahwa da’wah kita harus diusahakan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah sesuai yang diajarkan oleh para sahabat. Tentu karena hidup ini adalah dinamis, kita tidak melupakan dan mempertimbangkan aturan-aturan pemerintah yang berlaku sebagai monsekuensi dari keberadaan kita di negeri NKRI yang juga diperjuangkan oleh para ulama wa syuhada’.
Keempat, Da’watuna adalah tarhisan (prioritas). Problem dan sarana yang kita miliki dalam kegiatan da’wah haruslah disesuaikan dengan kemampuan kita. Prioritas adalah pilihan. Karena kita adalah bagian kecil dari umat dan bangsa ini yang mencoba –urun rembuk- dalam da’wah.
Kelima, Da’watuna adalah bunyanan wahidan. Sebagai entitas masyarakat yang berdiri untuk melaksanakan kewajiban agama, keberadaan unit da’wah dengan berbagai macam bentuknya, juga dengan individu-individu yang ada di dalamnya, senantiasa diproses dalam bangunan yang semakin kokoh. Karena kita adalah satu bangunan, maka hak dan kewajiban dalam sebuah keluarga juga berlaku di lembaga ini.
Menjaga cacat dan rahasia yang ada didalam tubuh ini adalah kewajiban bagi setiap anggota lembaga. Poin-poin ini yang perlu menjadi perhatian para kader dakwah sehingga seorang dai tidak hanya berkutat pada dinamika-dinamika internal dan persoalan individu, tetapi masyarakat dan umat sudah menunggu aksi dari pada kader dakwah.
Hal ini pun diingatkan oleh Dewan Syuro Dewan Dakwah Kabupaten Tangerang, Ustadz Yusuf bahwa saat ini umat Islam sebagai umat mayoritas dalam beragama dan beribadah masih dalam tataran skill, belum sampai tahap pemahaman serta berimplikasi terhadap perilaku sehari-hari. Ini terlihat dengan ritual ibadah dilaksanakan oleh umat ini, belum berdampak secara signifikan pada perilaku sehari-harinya.
Perilaku-perilaku sosial yang menyimpang di masyarakat bukan menurun, tetapi justru makin meluas dan meningkat, seperti maraknya judi online, LGBT, kebebasan seksual yang banyak terjadi di kaum muda, dan perilaku sosial negatif lainnya. Inilah bagian dari agenda yang jutsru harus dicarikan solusinya oleh para dai, sehingga pengetahuan tentang Al-Qur’an, akidah, ibadah, sirah, akhlak dapat terintegrasikan pada perilaku pelakunya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam bish shawab
(Ummu Ahya)