Bel untuk Buya Hamka dan Kisah-Kisah Lainnya

Buya Hamka ketat dalam mendidik anak-anaknya, terutama putri.

Dok. Muhammadiyah
Buya Hamka
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat jadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Hamka mendapat kantor di gedung baru di belakang Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Untuk Hamka, disediakan sebuah ruangan yang cukup besar dengan meja besar pula. Di meja ada sebuah bel. Ia boleh menekannya bila ingin memanggil stafnya, kalau perlu bantuan. Tapi ulama berdarah Minangkabau tersebut tak pernah menggunakan bel itu.

Walau sudah tua, Buya Hamka lebih senang mendatangi stafnya.

"Mereka punya nama, kenapa kita panggil dengan bunyi tut tut listrik," katanya, memberi alasan.

Belakangan, Hamka kembali ke kebiasaan lama, yakni berkantor di rumahnya yang tak jauh dari masjid. Satu alasannya, ia capek mondar-mandir ke kamar ketua-ketua yang lain dan sekretaris MUI.

Anak perempuan

Buya Hamka ketat dalam mendidik putri-putrinya. Ia tak mau mereka bergaul di luar batas ajaran agama. Sering pula diperhatikannya putri-putrinya, apa saja yang mereka lakukan di luar dan dalam rumah.

Salah satunya menyangkut Aliyah. Hamka sering memperhatikan putri keduanya itu, yang sangat rajin belajar.

Putrinya itu menjadi guru bahasa Jerman di sebuah SMA di Jakarta walaupun belum menyelesaikan studi sarjana.

"Jadi doktoranda memang perlu cepat-cepat. Tapi jangan lama-lama meranda (tanpa suami),'' kata Hamka bergurau.

Pada suatu sore, saat berjalan-jalan dengan istrinya, Hamka melihat Aliyah berdiri menunggu bus di depan sekolah, dengan seorang laki-laki. "Tak salah itu Iyah," kata istrinya.

"Ya, tapi siapa di sebelahnya?" kata Hamka.

Malam harinya, saat makan malam---waktu yang sering menjadi konferensi keluarga--Ibu bertanya kepada Aliyah tentang laki-laki itu.

"Dia cuma rekan sesama guru," jawab Aliyah.

Baca Juga



"Tidak ada apa-apa di balik itu?" tanya Hamka.

"Ayah dan ummi tak suka melihat kau berdiri atau berjalan dengan laki-laki, kecuali kalian bermaksud baik untuk berumah tangga," kata Ibu.

"Kau bawa saja ke sini, kenalkan kepada kami," timpal sang kepala keluarga.

Aliyah mencoba berdebat. "Ya, tapi kami belum membicarakannya sampai ke situ. Dia tentu akan malu ketemu ayah."

"Ayah maklum, tapi kalian bukan anak-anak kecil lagi. Kalian harus membicarakannya. Ayah beri waktu satu pekan," kata Hamka sambil mengetuk meja, tanda ia telah memutuskan.

Sepekan kemudian, pak guru muda itu, Sofyan Saad, datang ke rumah dan ngobrol-ngobrol dengan Hamka di beranda. Laki-laki itu lalu menikah dengan Aliyah walau keduanya belum menyelesaikan studi sarjana.

Meski begitu, mereka berhasil menamatkan studi. Pasangan ini memberikan tiga cucu laki-laki untuk Hamka.

 

Humor dan tabligh

Sebagai ulama, Buya sering membubuhi ceramah dengan humor, terutama menyangkut pengalaman-pengalamannya. Salah satu kisah jenaka yang sering diulang-ulangnya saat bertabligh adalah tentang pemuda yang keranjingan aliran marxisme.

Kata Hamka, pernah datang kepadanya seorang anak SMA yang rupanya merasa sudah pintar. Dia bertanya, "Mana Tuhan? Saya tak percaya Tuhan. Saya mau lihat Tuhan dengan mata kepala saya sendiri secara konkret!"

Hamka balik bertanya, "Kamu akan melihat Tuhan dengan matamu itu. Tapi matamu sendiri apakah pernah engkau lihat?"

"Pernah melalui cermin," jawab sang pemuda.

Hamka membalas, "Bayangan di kaca itu bohong karena matamu yang kiri dalam kaca menjadi kanan, dan yang kanan jadi kiri."

Menurut Hamka, pemuda itu mengaku atheis, marxis, sosialis dan segala "is is" lainnya.

"Saya suruh shalat, pemuda itu mengatakan bahwa shalat tak logis," Hamka bertutur.

Beberapa bulan kemudian, ia bertemu lagi dengan pemuda itu. Wajah anak muda ini kuyu, pucat pasi dan jalan mengangkang.

Rupanya pemuda itu terkena penyakit kelamin sipilis. "Itulah 'is' terakhir bagi orang yang sok 'is is,'" kata Hamka kepada jamaah.

Hamka dan nama

Saat Buya Hamka berusia 70 tahun, seorang tamu bertanya kepadanya, mengapa ia masih bisa mengingat nama 22 orang cucunya. Sang dai menjawab, "Kebetulan nama-nama cucu saya mudah diingat dan dieja lidah saya. Kalau saja anak-anak memberi nama cucu-cucu dengan nama-nama Barat atau Sanskerta, yang disukai orang sekarang, tentu lidah saya sulit mengucapkannya."

Bukan kebetulan keluarga Hamka memberi anak-anak mereka dengan nama Arab. Masalahnya, sang kakek selalu mengkritik nama yang kebarat-baratan, yang dipakai seorang Muslim. Ia menilai itu tanda rendah diri.

Ceritanya, ada seorang sanaknya memberi nama anaknya Raj Kapoor, bintang film India.

"Apa itu?" kata Hamka bernasehat agar nama anak itu diganti Abdul Ghafur.

"Ghafur itu artinya Tuhan Yang Maha-pengampun. Ditambah Abdul, menjadi berarti hamba Yang Maha Kuasa." Orangtua anak itu pun mengikuti nasehat Hamka.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler