Begini Susahnya Nelayan Sebab Pagar Laut 30 Kilometer di Tangerang

Pendapatan nelayan menurun drastis akibat adanya pagar laut.

ANTARA FOTO/Harianto
Petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel lokasi pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan pesisir Tangerang, Banten, Kamis (9/1/2025).
Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/Fitriyan Zamzami Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang mendapat sorotan belakangan. Para nelayan menyampaikan betapa merepotkannya keberadaan pagar laut tersebut.

Baca Juga


Adi, seorang nelayan di Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang menuturkan, pagar laut di perairan mereka sekitar tiga bulan lalu sudah dilaporkan. Mereka melayangkan aduan ke lantamal setempat, namun tak kunjung ditindak.

Menurut Adi, keberadaan pagar laut di Tanjung Pasir yang kemudian mengular hingga jauh ke barat Tangerang. Pagar-pagar itu bervariasi bentuknya. Mulai dari yang sudah dibeton dasarnya, patok-patok bambu yang ditancapkan ke dasar laut, hingga yang bisa dinaiki manusia dewasa.

Hanya ada beberapa bukaan ke laut lepas di pagar-pagar itu. Biasanya celah tersebut ada di muara sungai. “Biasanya kita berlayar beli lima liter sekarang bisa sampai 15 liter,” ujar dia saat ditemui Republika, Kamis (9/1/2025). Hal ini karena sekarang para nelayan harus memutar jauh jika hendak memancing ke laut lepas. 

Walhasil, ini membuat para nelayan tak bisa juga lebih lama di laut. “Dulu bisa bawa pulang sekitar dua kuintal (200 kilogram) ikan. Sekarang paling 20 kilo,” kata dia. Uang yang bisa dihasilkan para nelayan sebelum ada pagar laut mencapai Rp 150 ribu per hari. Sekarang Rp 25 ribu saja.

Nelayan penjaring ikan juga tak bisa lagi menebar jala di tepian karena dihalangi pagar laut. Tak hanya karena dipagari, menurutnya pengerjaan juga meninggalkan limbah yang membuat ikan kian habis populasinya di pinggiran.

Di Tanjung Pasir, ada sekitar 370 perahu nelayan. Belakangan, tak sedikit nelayan yang kemudian menambatkan perahu mereka, hanya digunakan mengantar wisatawan ke Kepulauan Seribu atau lokasi pemancingan. 

Warga Kampung Pasir, kata Adi, sudah lelah melawan. Mereka juga ketakutan. Ia menuturkan, tak sedikit warga yang berunjuk rasa di masa lalu ditangkap. “Yang terakhir ditangkap karena bela nelayan baru keluar bulan delapan tahun lalu,” ujarnya. 

Ia menyangkal keras jika para warga dan nelayan disebut yang membangun pagar laut tersebut. “Ya dipikir saja, Mas. Masak nelayan mau bikin susah diri sendiri,” ia menjelaskan.

Buat Adi dan nelayan di Tanjung Pasir, tak ada misteri soal mengapa ada Lagar Laut. Mereka mengaitkan keberadaan penghalang di lautan itu dengan perluasan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sementara itu, menurut warga Tanjung Pasir lainnya, Yani pagar laut itu sedianya lebih tepat disebut tanggul. Tanggul tersebut kedepannya akan diuruk. 

“Bukan pemagaran, gak ada cerita laut di pagar, sejak kapan laut dipagar? Beda gak nyambung. Sebenarnya itu pembuatan tanggul dimana tanggul itu adalah batas rehabilitasi yang akan dipekerjakan oleh pengembang,” katanya. 

“Makanya ada relokasi itu jelas bahwa ini tanggul menjulur ke permukaan sekian meter ke sekian meter nah nanti direhab pengerukan dan sebagainya itu area pengusaha, pengembang,” katanya. 

Ia pun tak menafikan jika pemagaran tersebut memang ditolak oleh para nelayan. Pasalnya, ia mengatakan, pagar tersebut secara jelas mengganggu jalur aktivitas nelayan. “Kalau pemagaran itu akan ditentang semua nelayan nelayan akan menolak keras lah jalur aktivitas melaut dari mana?”

Kendati demikian, menurutnya jika dampak dari adanya pagar laut bagi nelayan tersebut sebenarnya bisa diperbaiki seperti beralih dari profesi nelayan hingga pembuatan kolam labuh. Ia mengatakan kolam tersebut nanti bisa digunakan oleh nelayan untuk menambatkan perahunya tanpa terhalang oleh pagar. 

“Dampak itu bukannya tidak bisa diperbaiki atau direalisasikan karena pengembang dan pemerintah tidak fokus salah satu persoalan satu titik…,” katanya. 

“Kolam labu itu kan nah itu saya perjuangkan. Bagaimana pihak pemerintah untuk memerintahkan dia ada pintu masuk keluar tidak ada perkara dengan tanggul. Makanya nyamannya nelayan itu dari kolam labu bagian dari pelabuhan,” katanya. 

Di sisi lain, ia mengatakan jika ada dampak positif dari pembangunan yang ada di daerah Tanjung pasir. Meski ia tak menafikan ada dampak negatif juga yang dirasakan masyarakat. “Makanya yang positif seperti saluran air, rumah pompa baik dari Pemda atau pengusaha, ada yang dipekerjakan nah mungkin ada sebagian kecil yang terlupakan atau aspirasi belum sampai contoh untuk meningkatkan kualitas hidup nelayan yang ketergantungan di sungai atau laut,” katanya.

Sejauh ini, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel sebagian pagar laut tersebut. Kementerian menyatakan masih mencari-cari dalang di balik pemagaran itu. Sementara pihak pengembang PIK, Agung Sedayu Group telah menyangkal soal peran mereka atas keberadaan objek yang menghebohkan tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler