Polemik Pagar Laut, Al Washliyah: Jangan Khianati Kepentingan Generasi Mendatang

Al-Washliyah meminta semua pihak menghargai hak-hak warga bangsa.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Penampakan pagar laut di kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (10/1/2024). Nelayan mengeluhkan sulit mencari tangkapan ikan akibat adanya pagar laut yang membentang di perairan Tangerang, Banten.
Rep: Fuji E. Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampai saat ini tidak ada yang mengakui siapa pemilik pagar laut dari bambu sepanjang 30 kilometer (Km) di pesisir Tangerang, Banten. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah mengambil langkah tegas dengan menyegel pagar laut tersebut.

Baca Juga


Menanggapi adanya pagar laut yang diduga masyarakat setempat sebagai bagian dari proyek strategis nasional (PSN) di PIK 2, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al-Washliyah, KH Masyhuril Khamis mengatakan sebagai bangsa yang beradab dan beradat, Al-Washliyah meminta semua pihak menghargai hak-hak warga bangsa.

"Jangan ada yang berkhianat terhadap kepentingan bersama dan kepentingan generasi mendatang," kata Kiai Masyhuril kepada Republika, Senin (13/1/2025).

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengungkapkan nelayan yang mencari ikan terganggu dengan keberadaan pagar laut. Masyarakat juga tidak berani membongkar pagar laut karena mereka menduga itu bagian dari PSN.

Kiai Masyhuril mengatakan, terhadap pagar laut itu sebaiknya dilakukan penelusuran dengan proses yang seharusnya. Jika ada yang menyalahi prosedur atau ada pihak yang bermain (manipulasi) tentu dilakukan penangan lewat peraturan yang berlaku.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI) Buya Anwar Abbas mengatakan, demi kebaikan semuanya sebagai bangsa, strategi trickle down effect yang diterapkan dalam kontek Proyek Strategis Nasional (PSN) harus ditinjau kembali.

 

Melihat kasus yang terjadi di PIK 2 dan di Rempang, benar-benar telah melukai dan mencederai hati sebagai warga bangsa, karena paradigma yang dipergunakan untuk memajukan kawasan tersebut bukan lagi pembangunan untuk rakyat tapi rakyatlah yang harus dikorbankan untuk kepentingan pembangunan.

"Sehingga pembangunan di daerah tersebut benar-benar bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi segelintir orang yang kita sebut dengan oligarki, kasihan sekali kita dengan nasib rakyat di negeri ini karena Pancasila tidak bisa membela kepentingan mereka," ujar Buya Anwar kepada Republika, Kamis (9/1/2025).

Buya Anwar menambahkan, faktanya melihat negara Indonesia sudah seperti tidak lagi bertugas melindungi rakyat dan mensejahterakan mereka. Tapi lebih kepada melindungi kepentingan segelintir orang yang namanya para pemilik kapital.

Akibatnya mereka dengan mudahnya merampas tanah dan hak-hak rakyat, sehingga rakyat benar-benar kehilangan kedaulatannya. Menurutnya, rakyat benar-benar terlihat sangat tidak berdaya di depan duet pengusaha dan penguasa tersebut.

Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan karena bila keadaan seperti ini terus berlangsung, maka kekecewaan dan keresahan di masyarakat akan meningkat dan menggumpal.

"Sehingga kalau ada saja sedikit percikan api, maka ia tentu akan menyala dan menyambar tumpukan-tumpukan kekecewaan yang sudah ada selama ini, terutama terhadap sekelompok orang yang memang sudah banyak menikmati hasil pembangunan," kata Buya Anwar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler