Ugalan-ugalan Saat Mengantar Jenazah ke Kuburan, Emang Boleh?

Muslim sangat dianjurkan memahami dan melaksanakan adab terhadap jenazah.

AP Photo/Abdel Kareem Hana
Ilustrasi menyalatkan jenazah, bagian dari adab terhadap mayit.
Rep: Muhyiddin Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat akan mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman, masyarakat di Indonesia khususnya di ibu kota dan sekitarnya biasanya akan menggunakan kendaraan secara rombongan. Namun, sayangnya saat berada di jalanan, sebagian orang yang mengantar jenazah masih ada yang ugal-ugalan.

Baca Juga


Lalu bagaimana hukumnya mengantar jenazah dengan ugal-ugalan?

Pembina Rumah Qur’an Imanatha Taqwa, Ustadz Try Sudrajad menjelaskan, ugalan-ugalan saat mengantar jenazah ke liang lahat hukumnya haram dan dapat mengganggu pengguna jalan lain.

"Jadi ugal-ugalan ketika mengantar jenazah hingga mengganggu hak-hak pengguna jalan itu hukumnya haram Karena Nabi SAW mengatakan, berikanlah pengguna jalan itu hak-haknya," ujar Ustadz Try kepada Republika usai mengisi Daurah Janaiz di Rumah Qur'an Imanatha Taqwa, Jalan Sumur Wangi, Sukamaju, Cilodong, Depok, Ahad (19/1/2025).

Setiap muslim yang meninggal dunia mendapatkan empat hak yang wajib dilakukan oleh umat Islam yang masih hidup, yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Menurut Ustadz Try, mengiringi atau mengantar jenazah ke pemakaman sendiri hukumnya sunnah.

Rasulullah SAW bersabda:

وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Artinya: "Apabila seorang Muslim mati, iringilah jenazahnya" (HR Muslim).

"Sehingga ketika kita mengambil hak orang lain untuk sesuatu yang disunahkan yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih baik, maka itu adalah perbuatan yang haram," ucap dia.

 

Karena itu, Ustadz Try mengingatkan kepada kaum muslimin dan muslimat, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya agar selalu memperhatikan adab-adab dalam pengurusan jenazah.

"Sehingga dalam mengurus jenazah betul-betul sesuai dengan tuntunan Nabi SAW dan agar kita tidak melakukan hal-hal yang bahkan mungkin diharamkan," kata Ustadz asal Makassar ini.

Selain itu, Ustadz Try juga mengingatkan agar para peziarah juga tidak menginjak-ngijak kuburan orang lain, mendudukinya, serta tertawa terbahak-bahak ketika mengantarkan jenazah di kuburan.

"InsyaAllah dengan ilmu agama, kebodohan yang diangkat dari diri kita itu bermanfaat bagi diri kita dan bermanfaat bagi kaum muslimin," jelas lulusan LIPIA Jakarta ini.

Terkait masalah ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan sendiri juga pernah mengeluarkan Maklumat dengan Nomor B-117/DP.P.XXI/XI/2021 tentang Adab Mengantarkan Jenazah. Maklumat ini ditandatangani oleh Ketum MUI Sulsel Najmuddin dan Sekretaris Umum Muammar Bakry pada 12 November 2021 lalu.

MUI Sulawesi Selatan melarang dan mengharamkan iring-iringan kendaraan yang membawa jenazah di jalan raya bersikap ugal-ugalan dan anarkis kepada pengendara lain ketika menuju kuburan.

"Kepada pengantar jenazah wajib menghormati pengguna jalan dan haram melakukan anarkis ketika mengantar jenazah. Tidak menambah beban "dosa" jenazah dengan melakukan tindakan yang tidak etis," bunyi maklumat tersebut seperti yang dipublikasikan di situs resmi MUI.

Adab

Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21 menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur."

Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam harus segera mengurus jenazahnya. "Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.

Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari). Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004. Tidak lama setelah bencana tsunami di Aceh terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Ketika itu, tak kurang dari seratus ribu korban jiwa tewas. Saksi mata bahkan melihat setiap jarak 100 meter ada 70 mayat di Banda Aceh.

 

Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.

Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Penguburan massal juga boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Pun, antara Muslim dan non-Muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler