MUI Bersuara tentang Kehalalan Uang Hasil Juru Parkir Liar
Perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan parkir liar dan 'Pak Ogah' alias pengatur lalu lintas sudah menjadi hal yang jamak saat musim liburan. Tidak sedikit masyarakat yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka dan menganggapnya pungutan liar berkedok parkir. Meski demikian, keberadaan Pak Ogah juga dianggap membantu karena tidak ada polisi lalu lintas yang membantu di sana.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda menjelaskan bahwa praktik Pak Ogah atau jasa pengaturan lalu lintas tidak resmi perlu dilihat dari sudut pandang dan dampak yang diakibatkan.
"Pada dasarnya, praktik tolong-menolong dalam kebaikan itu sangat dianjurkan dalam syariat agama, dan jasa Pak Ogah adalah termasuk praktik tolong-menolong agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar," kata Kiai Miftahul Huda kepada Republika, Kamis (30/1/2025).
Bagaimana imbalan yang dipungut oleh Pak Ogah atau yang diberikan oleh pengguna kendaraan? Menurut dia, jika imbalan tersebut berjalan tanpa paksaan, kedua belah pihak saling ikhlas memberi atau menerima, maka tentu itu menjadi harta yang halal.
Meski demikian, perlu mempertimbangkan dampak dari kegiatan tersebut. Jika kehadiran Pak Ogah itu menyebabkan kemacetan, kesemrawutan lalu lintas atau malah membahayakan diri sendiri atau pengguna jalan lain, maka praktik ini masuk kategori kegiatan yang menimbulkan mudharat.
"Perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain," ujar Kiai Miftahul Huda.
Sebelumnya, warga Jakarta, Karta Raharja Ucu membagikan kisah liburannya yang terganggu oleh kejahatan premanisme berkedok jaga parkir atau jasa Pak Ogah yang menjaga setiap tikungan di kawasan wisata yang menjadi favorit warga.
Karta membagikan kisahnya di Jalan Raya Puncak Bogor. Menurutnya, pungutan liar di sana membuat kantong wisatawan terkuras ketika melewati jalur alternatif. Hampir di setiap tikungan pasti ada saja 'Pak Ogah' yang jaga.
"Yang menyebalkan, jarak antara tikungan hanya sekitar 100 sampai 200 meter, jadi dalam jarak 1 kilometer saja ada 10 orang Pak Ogah yang meminta uang jasa, dikali setidaknya Rp 1.000 maka pengendara mobil sudah mengeluarkan Rp 10.000. Itu baru jarak 1 kilometer bagaimana jika jalur alternatif berjarak lebih dari 10 kilometer? Ujung-ujungnya boncos," ujar Karta.
Karta mengatakan, sebenarnya bisa saja wisatawan tidak perlu mengeluarkan uang, tapi jika bertemu dengan Pak Ogah yang nakal, siap-siap risiko mobil dibaret. Bahkan ada saja Pak Ogah yang tidak mau diberi Rp 1.000 tapi minta minimal diberi Rp 2.000 untuk menawarkan jasa yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
"Jika dibandingkan dengan biaya jalan tol dari Jakarta ke Bogor yang tidak lebih dari Rp 30 ribu, biaya jasa Pak Ogah jauh lebih mahal," ujar Karta.
Karta mengungkapkan, itu baru Pak Ogah, belum bicara uang parkir liar. Setiap parkir di minimarket atau pertokoan hingga restoran, ada saja penjaga parkiran yang hanya bermodal sempritan dan ucapan memandu kendaraan parkir yang tidak perlu.
"Setelah urusan selesai di minimarket atau pertokoan, pengendara motor setidaknya harus mengeluarkan Rp 2.000 dan pengendara mobil Rp 5.000 untuk jasa tukang parkir yang bahkan tidak mau tahu ketika barang pemilik kendaraan hilang," ujar Karta.
Karta mengatakan, padahal konsumen yang pergi ke Indomaret, Alfamart, atau pertokoan lainnya tidak perlu lagi membayar parkir alias gratis. Tetapi kenyataannya hampir tidak ada pertokoan yang bebas dari premanisme berkedok tukang parkir liar. Meski memang uang Rp 2.000 tidak membuat pemberinya miskin.
Warga Jakarta lainnya, Eka mengatakan, memang di beberapa lokasi kehadiran parkir liar dan Pak Ogah tidak diperlukan. Keberadaannya membuat orang yang tidak punya uang receh menjadi tidak nyaman.
"Namun di beberapa lokasi tertentu misalnya di jalan saya menuju ke kantor, menurut saya ada belokan yang memang membutuhkan keberadaan Pak Ogah, jika tidak ada Pak Ogah di sana, pengendara motor dan mobil di Jakarta mungkin tidak mau saling mengalah dan akhirnya menimbulkan kemacetan," ujar Eka.
Eka berharap lapangan pekerjaan semakin banyak bagi semua kalangan masyarakat di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi pengangguran melakukan parkir liar dan menjadi Pak Ogah karena alasan sulit mendapatkan pekerjaan.
- juru parkir liar
- kehalalan uang juru parkir liar
- juru parkir liar menurut mui
- mui bersuara soal juru parkir liar
- tukang parkir saat wisata
- juru parkir dan pak ogah
- pak ogah ganggu ketertiban umum
- mui soal juru parkir liar
- uang juru parkir liar menurut mui
- juru parkir liar di tempat wisata
- juru parkir liar berkeliaran
- juru parkir
- hukum juru parkir mendapatkan uang
- hukum parkir liar menurut islam