Pendiri Majelis Ulama Nusantara Soal Pagar Laut: Maslahat dan Punya Legal Standing

Munas NU 2025 mengharamkan kepemilikan laut atas nama individu atau pun korporasi.

Republika/Edwin Putranto
Personil TNI AL bersama warga membongkar pagar laut di Perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). TNI Angkatan Laut bersama dengan nelayan membongkar pagar laut misterius sepanjang 30,16 km di Kabupaten Tangerang, secara manual. Pembongkaran pagar laut dipimpin langsung oleh Komandan Pangkalan Utama AL (Danlantamal) III Jakarta Brigadir Jenderal (Mar) Harry Indarto.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pendiri Majelis Ulama Nusantara (MUN) KH Rakhmad Zailani Kiki mengungkapkan, pagar laut yang belakangan ini dipermasalahkan sejumlah pihak sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat berupa peraturan daerah (perda) tentang reklamasi laut. Dia menjelaskan, seharusnya jikalau ingin pagar laut tersebut diusut, maka perda yang menaunginya harus dicabut terlebih dahulu. 

Baca Juga


“Sudah ada legal standing sehingga segala macam tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak tertentu di pantai Tangerang punya legal standing. Kalau mau perdanya cabut dulu,”ujar Kiki saat berbincang dengan Republika melalui sambungan telepon, Selasa (12/2/2025). 

Rakhmad Zailani Kiki; Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL), Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat IKALUIN Jakarta - (Istimewa/Rakhmat Zailani Kiki)

Lebih lanjut, dia pun mengatakan, pagar laut tersebut sebenarnya memiliki kemaslahatan yang harus diungkap oleh stakeholder terkait. Mengenai adanya permasalahan yang datang kemudian, dia mengatakan, seharusnya tidak didramatisir. Akan tetapi, ujar dia, aparat terkait langsung melakukan penegakan hukum yang tegas. 

Lebih lanjut, dia mendukung keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2025 yang mengharamkan kepemilikan laut. Kiki mengimbau kasus pagar laut untuk diusut tuntas.

Seperti diketahui, Munas NU 2025 mengharamkan kepemilikan laut atas nama individu atau pun korporasi. "Laut tidak bisa dimiliki baik oleh individu maupun korporasi," ujar Ketua Sidang Komisi Waqi'iyah, KH Muhammad Cholil Nafis dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (6/2/2025).

 

Hal tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan tentang apakah laut dapat dimiliki individu atau korporasi. Pertanyaan lanjutannya adalah bolehkah negara menerbitkan sertifikat kepemilikan laut kepada individu atau korporasi?

Karena jawaban atas pertanyaan sebelumnya tidak dibolehkan, maka secara otomatis hal tersebut juga sama."Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut, baik individu maupun korporasi," ucap Rais Syuriyah PBNU ini.

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, KH Ikhsan Abdullah menegaskan bahwa laut di Indonesia tidak dapat langsung dijadikan objek Hak Guna Bangunan (HGB) karena sifatnya sebagai wilayah perairan yang dikuasai oleh negara.

Hal tersebut disampaikannya terkait polemik pagar laut sepanjang 30 km di perairan Tangerang, Banten yang disebut ada HGB-nya. Ikhsan mengatakan, laut yang tidak dapat dijadikan objek HGB diatur secara spesifik dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dasar hukum pengelolaan laut ada pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

"Bunyi Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Kiai Ikhsan kepada Republika, Senin (20/1/2025)

Ikhsan menjelaskan, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 mengatur bahwa hak atas tanah termasuk HGB berlaku di atas tanah, bukan wilayah perairan. Pasal 16 hanya mengatur HGB pada tanah dengan sifat fisik tetap, seperti tanah negara, tanah hak milik atau tanah yang dikelola negara.

Kembali ke definisi HGB berdasarkan Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

"Ruang lingkup UUPA itu hanya mengatur mengenai tanah, air dan ruang angkasa hanya itu saja, tidak mengatur mengenai laut," kata Kiai Ikhsan.

Wasekjen MUI Bidang Hukum dan HAM ini mengatakan, UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK). Pasal 16, pemanfaatan wilayah laut harus sesuai dengan izin yang ditentukan, seperti izin lokasi dan izin pengelolaan.

Ia menjelaskan, HGB memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum untuk mendirikan bangunan di atas tanah, baik tanah milik negara maupun tanah hak milik orang lain dengan persetujuan pemilik. Karena laut tidak termasuk kategori tanah dalam konteks hukum agraria, maka HGB tidak dapat diterapkan untuk laut.

Kiai Ikhsan menambahkan, meskipun HGB tidak berlaku untuk laut, ada mekanisme hukum lain untuk memanfaatkan laut. Yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan ruang laut.

Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pagar Laut - (Infografis Republika)

 

Majelis Ulama Nusantara (MUN) bersiap untuk menggelar musyawarah nasional di Jakarta pada 26-27 Februari 2025. Rencananya, perkumpulan tersebut akan menghadirkan seratus peserta dari berbagai wilayah di Indonesia.

Pendiri MUN KH Rakhmad Zailani Kiki menegaskan, MUN akan memulai gerakan ulama yang lebih mengedepankan tabayun dan menjadi mitra semua pihak baik dari unsur pemerintah dan swasta. “Ini genre baru gerakan ulama. Kita akan memulai gerakan yang menjadi bridging atau jembatan kepada semua pihak termasuk pemerintah dan swasta,”ujar Kiai Kiki saat berbincang dengan Republika lewat sambungan telepon, Rabu (12/2/2025).

Kiai Kiki mengatakan, MUN dilatarbelakangi oleh sikap kritis beberapa ulama terhadap keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang mengeluarkan rekomendasi terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.  “Rekomendasi ini blunder untuk ulama dan untuk umat,”ujar Kiai Kiki.

Dia menjelaskan, bukan menjadi ranah bagi MUI Pusat untuk mencabut PSN di PIK 2. Terlebih, ujar dia, PSN yang bermasalah bukan sebatas di PIK 2. Dia mengatakan, dari sebanyak 223 PSN yang bergulir, sebagian diantaranya bermasalah.

Menurut Kiai Rakhmad, banyak Proyek Strategis Nasional memberi kemaslahatan kepada masyarakat setempat. Seharusnya, ujar dia, MUI Pusat mengeluarkan rekomendasi berisi pencabutan terhadap PSN yang bermasalah, bukan merujuk kepada proyek swasta yang sebenarnya juga berbeda dari PSN.

“Tanah Perhutani PSN ini sudah saya datangi itu. MUI Pusat belum tabayun. Mereka cuma buat tim untuk menyelidiki. Masalah ini kan jadi pegangan buat orang-orang yang berkonflik dengan Agung Sedayu Group,”ujar dia.

Dia pun menegaskan, Munas MUN tidak hanya mengulas seputar PSN di PIK 2. Menurut dia, Munas MUN akan merespons banyak permasalahan bangsa yang kini menjadi isu nasional. “MUN lahir untuk mendukung PSN yang memberikan maslahat,”kata dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler