Muhammadiyah: Pilar Penggagas Modernisme Islam di Indonesia dalam Menghalau Tantangan Zaman
K. H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membawa visi modernisme Islam yang revolusioner, mengubah pendidikan dan membangun umat menuju kejayaan.
Latar Belakang Sejarah
Di tengah gelombang perubahan politik dan sosial yang melanda dunia pada akhir abad ke-19, gerakan modernis Islam muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman. Salah satu gerakan yang menonjol di Indonesia adalah Muhammadiyah, yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K. H. Ahmad Dahlan.[1]
Berbeda dengan beberapa gerakan lain yang lebih konfrontatif, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan yang hati-hati dan lentur dalam menghadapi perubahan, sehingga tidak menjadi perhatian aparat kolonial dan juga tidak dianggap mengancam kelangsungan penjajahan.[2]
Inspirasi dan Pengaruh Awal
Muhammadiyah tidak lahir dalam kekosongan situasi. Gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh dari Mesir, dua tokoh penting dalam modernisme Islam.[3]
Al-Afghani dan Abduh menekankan pentingnya reformasi dan pembaharuan pendidikan Islam sebagai landasan untuk membangun kembali umat dalam menghadapi dinamika sosial yang cepat berubah. K. H. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, mengadopsi gagasan ini untuk mewujudkan sistem pendidikan yang mampu menantang keterbelakangan dan kebodohan yang melanda umat Islam Indonesia pada masa itu.[4]
Motivasi dan Tujuan Gerakan
Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), seorang ulama terkemuka dan pemimpin Muhammadiyah, terdapat tiga faktor utama yang mendorong lahirnya gerakan ini, antara lain:[5]
1. Keterbelakangan dan Kebodohan Umat Islam: Pada hampir semua bidang kehidupan, umat Islam Indonesia dianggap sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
2. Kemiskinan yang Melanda: Meskipun Indonesia adalah negeri yang kaya, banyak umat Islam yang hidup dalam kemiskinan yang parah.
3. Pendidikan Islam yang Kuno: Sistem pendidikan tradisional, terutama pesantren, dianggap tidak relevan dan tidak mampu menghadapi tantangan zaman.
Dengan demikian, Muhammadiyah bertujuan untuk menawarkan alternatif sistem pengajaran yang lebih modern dan relevan, serta tetap berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ.[6]
K. H. Ahmad Dahlan: Pemimpin Visioner di Balik Muhammadiyah
K. H. Ahmad Dahlan adalah sosok yang memainkan peran sentral dalam kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah. Meski tidak meninggalkan banyak tulisan, tindakan dan visinya yang tajam menjadikannya figur yang berorientasi jauh ke depan.
Dahlan menilai bahwa pendidikan adalah prioritas tertinggi untuk membangun kembali umat Islam. Ia percaya bahwa sistem pendidikan yang ada pada masa itu tidak mampu menghadapi tantangan zaman yang baru, khususnya terkait dengan kegiatan misi Kristen yang didukung oleh kekuasaan kolonial.
Dalam salah satu pernyataannya yang penuh wibawa, Dahlan mengatakan:
“Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggung jawab?”
Pernyataan ini mencerminkan keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam di Indonesia dan tekadnya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad—usaha pemikiran dan penafsiran ulang atas ajaran Islam—sebagai dasar pendidikan dan kehidupan umat.
Pengaruh dan Warisan Muhammadiyah
Motto Muhammadiyah, “sedikit bicara banyak bekerja” dan “siapa menanam dia yang mengetam,” mencerminkan semangat gerakan ini dalam melakukan perubahan melalui tindakan nyata. Dalam bidang sosio-keagamaan dan pendidikan, Muhammadiyah telah menunjukkan skala amal yang luas dan berpengaruh, sehingga menjadikannya salah satu pilar utama modernisme Islam di Indonesia.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam mempertahankan eksistensinya selama masa kolonial dan pascakolonial menunjukkan ketangguhan gerakan ini. Dengan menawarkan sistem pendidikan yang modern dan relevan, Muhammadiyah tidak hanya memperkuat iman umat Islam tetapi juga meningkatkan kualitas intelektual dan sosial mereka.
Referensi
[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Api Sejarah (Bandung: Surya Dinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), https://books.google.co.id/books?id=s8QeGQAACAAJ.
[3] Rémy Madinier dan Jeremy Desmond, Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism (Singapura: NUS Press, 2015), https://doi.org/10.2307/j.ctv1ntfxk.
[4] Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Cet. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984).
[5] Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Pandangan Hidup Muslim, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
[6] PP Muhammadiyah, Risalah Islam Berkemajuan (Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah Tahun 2022) (Yogyakarta: PT Gramasurya Yogyakarta, 2023).