Kusutnya MinyaKita, Takaran Disunat, Harga tak Sesuai HET, Tetap Diburu Warga
Harga yang murah tetap menjadi daya tarik utama bagi konsumen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penyediaan minyak goreng rakyat lewat produk Minyakita menuai polemik. Program yang lahir setelah adanya gonjang-ganjing harga minyak goreng pada akhir 2021 dan awal 2022 itu justru bermasalah. Di lapangan, ditemukan produk Minyakita yang didistribusikan tidak sesuai takaran atau di bawah 1 liter. Tak hanya itu, harga jual yang semestinya dipatok dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 15.700 per liter tak bisa dipenuhi. Akan tetapi, lantaran harga jualnya masih tetap lebih rendah dari harga minyak goreng kualitas premium, Minyakita tetap diburu warga.
Pedagang di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat bahkan mengungkapkan terjadinya kelangkaan Minyakita dalam beberapa bulan terakhir. Padahal permintaan masyarakat terhadap minyak goreng rakyat tersebut tetap tinggi.
“Susah Minyakita, sudah lama, dua atau tiga bulan yang lalu,” kata salah satu pedagang di Pasar Gondangdia, Annchi (bukan nama sebenarnya) saat ditemui Republika di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (10/3/2025).
Menurut penuturan Annchi, Minyakita sebenarnya terus dicari oleh pembeli atau konsumen. Ia menyampaikan, viralnya Minyakita yang takarannya tidak sesuai dengan yang seharusnya tidak menyurutkan para konsumen untuk mencari Minyakita. Ia menyebut, harga yang murah tetap menjadi daya tarik utama bagi konsumen dalam memilih produk.
“Apanya yang enggak tertarik? Kan murah. Kalau ada (Minyakita) mah laku. Biar dikurangin (takarannya) juga, kalau harganya murah, orang mau saja,” ungkapnya.
Kenyataannya, ia menyebut ada banyak calon pembeli menanyakan Minyakita, yang pada akhirnya sebagian dari mereka memilih membeli minyak dengan merek lainnya yang tersedia dengan harga yang lebih tinggi dibanding Minyakita.
Annchi diketahui menjajakan beragam jenis minyak goreng. Mulai dari Tropical, Masku, Kunci Mas, Mitra, Fitri, hingga minyak Barco. Minyak-minyak tersebut dijual dengan harga termurah Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu per liter. Sementara Minyakita diketahui dijajakan sebesar Rp 18.000 per liter.
Annchi mengungkapkan dalam tiga hari terakhir selalu ada sidak Minyakita yang diduga dilakukan pemerintah, namun ia tidak mengetahui pihak mana yang melakukan sidak. Dalam kesempatan sidak tersebut, Annchi menyebut bahwa ia menyampaikan kepada yang bersangkutan mengenai kelangkaan Minyakita yang terjadi belakangan ini.
“Saya bilang, mungkin pemerintah subsidinya kurang tuh. Kalau subsidinya kurang, orang pabrik enggak mau jual rugi, akhirnya dikurangi (takarannya). Terus sekarang dilangkain,” cerita Annchi.
“Sidak mulu, apanya yang disidak? Minyakita enggak ada. Emang enggak ada barangnya,” lanjutnya.
Di lokasi yang sama, seorang pedagang sembako lainnya, Rusno mengungkapkan memang para pembeli hingga kini masih terus mengincar Minyakita karena harganya yang terjangkau dibandingkan merek minyak goreng lainnya. Ia menyebut tidak ada pembeli yang mengeluhkan soal takaran Minyakita yang tidak sesuai dengan semestinya.
“Justru pada nyari Minyakita. Belakangan minta, tapi enggak ada (barangnya),” ujar Rusno kepada Republika.
Rusno mengatakan, memang tidak ada pengiriman Minyakita dari agen dalam beberapa bulan terakhir. Namun ia menyebut sempat mendapatkan sedikit stok Minyakita dari agen pada pekan lalu.
“Kalau terakhir kali mah sudah lama, tapi sempat kemarin (6 Maret 2025) kebagian 2 pcs per 1 toko yang takaran 2 liter,” tuturnya.
Rusno mengatakan, ia juga menjual berbagai merek lainnya selain Minyakita, yang justru tersedia lebih banyak. Namun, yang dicari pembeli tetap kebanyakan adalah Minyakita.
“Dianggapnya murah. Padahal enggak jauh beda, misalnya kan ada kayak minyak Sabrina harganya Rp 20.000 per liter, bedanya cuma Rp 2.000 sama Minyakita. Ya, itu alasan pembeli, karena murah,” ujar dia.
Takaran "Disunat"
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman meminta agar perusahaan Minyakita ditindak tegas apabila terbukti mengurangi takaran. Produsen dapat dituntut pidana.
"Satu kata, tindak tegas," kata Mentan ditemui awak media seusai pertemuan dengan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Bakrie, di Jakarta, Senin (10/3/2025).
Mentan tak banyak memberikan komentar kepada awak media ketika ditanyakan soal temuan minyak goreng kemasan Minyakita yang di bawah takaran, ketika inspeksi mendadak pada Sabtu (8/3), di Pasar Jaya Lenteng Agung. Namun, Mentan dengan tegas menyatakan bahwa jika tiga perusahaan produsen Minyakita tersebut terbukti melanggar, maka mereka harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pengecualian.
“Yang menyalahi aturan, satu kata buat mereka, yang penting sudah dibuktikan salah, tindak tegas,” ujar Mentan.
Ketika ditanya apakah tindakan tersebut akan berupa pidana atau perdata, Mentan menegaskan bahwa pidana adalah pilihan utama, meskipun perdata juga bisa diterapkan dalam kasus ini.
"Kalau bisa pidana, perdata, dua-duanya," jawab Mentan, sembari meninggalkan awak media.
Sebelumnya, Mentan Andi Amran Sulaiman menemukan minyak goreng kemasan Minyakita yang tidak sesuai dengan takaran di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) di pasar yang terletak di Jalan Raya Jagakarsa, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (8/3).
Mentan juga menemukan bahwa isi kemasan Minyakita tidak sesuai dengan yang tertera di label, yakni hanya berisi 750 hingga 800 mililiter. Selain itu, Minyakita dijual dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang seharusnya Rp 15.700 per liter, namun dijual seharga Rp 18.000 per liter.
Minyakita tersebut diduga diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Koperasi Terpadu Nusantara (KTN), dan PT Tunasagro Indolestari.
Di sisi lain, Satgas Pangan Polri menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan bermerek Minyakita yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan takaran yang disebutkan oleh produsen pada label kemasan.
Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Pol Helfi Assegaf ketika dihubungi wartawan, di Jakarta, Ahad (9/3), mengatakan bahwa penyelidikan itu merupakan tindak lanjut pihaknya usai menemukan adanya ketidaksesuaian pada produk Minyakita dalam inspeksi yang dilakukan di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
"Dilakukan pengukuran terhadap tiga merek Minyakita yang diproduksi oleh tiga produsen yang berbeda, dan ditemukan ukurannya tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam label kemasan. Hasil pengukuran sementara, dalam label tercantum 1 liter, tetapi ternyata hanya berisikan 700-900 mililiter," ujarnya pula.
Brigjen Pol Helfi menyebutkan nama tiga produsen tersebut, yakni PT Artha Eka Global Asia yang berlokasi di Depok, Jawa Barat; Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah; dan PT Tunas Agro Indolestari yang berlokasi di Tangerang, Banten.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomsi Politik Indonesia (AEPI) Khudori turut merespons kasus penjualan Minyakita di luar takaran semestinya. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan produsen produk tersebut mengurangi isi kemasan. Kemasan yang mestinya dengan volume 1 liter (1.000 mililiter) ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter.
Tak hanya itu. Ada juga yang masih menjual di atas harga eceran tertinggi (HET). Perlu diketahui HET Minyakita saat ini Rp 15.700 per liter. Keputusan ini telah berlaku sejak 14 Agustus 2024.
Menurut Khudori, penjualan Minyakita di level konsumen berada di atas HET, bukan hal baru. Menurutnya, ini sudah terjadi sejak pertengahan 2023. Teranyar, kasus yang muncul yakni produsen 'menyunat' isi produk itu.
"Dugaan saya, karena biaya pokok produksi sudah jauh melampaui HET. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni CPO, dalam negeri selama enam bulan terakhir sekitar Rp 15.000 hingga Rp 16.000 per kg. Dengan angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28 persen dan 1 liter setara 0,8 kg diketahui untuk bisa memproduksi Minyakita seharga Rp 15.700 per liter maka harga CPO maksimal Rp 13.400 per kg," jelas Pengamat Pertanian dari AEPI ini kepada Republika dikutip Senin (10/3/2025).
Ini baru menghitung bahan baku CPO, belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, kata Khudori sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi. Artinya, dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp 13.500 per liter adalah tidak mungkin tanpa kerugian.
"Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi," ujarnya.
Oleh karena itu, Khudori menilai jika tidak ada koreksi kebijakan, ada dua yang berkemungkinan terjadi. Pertama, produsen menjual Minyakita sesuai HET tapi mengorbankan kualitas. Menyunat isi kemasan bisa dimasukkan dalam konteks mengorbankan kualitas. Kedua, produsen tetap memproduksi Minyakita sesuai kualitas (termasuk tidak menyunat isi) tetapi menjual dengan harga di atas HET.
"Bahwa keduanya berisiko dan melanggar aturan, ya. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi? Atau keduanya?"
Ia menjelaskan, Minyakita semula bernama Minyak Goreng Rakyat. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Salah satu tujuannya adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melalui skema wajib pasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Pemenuhan DMO merupakan syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dari pemerintah dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar.
Program ini dihelat setelah gonjang-ganjing minyak goreng akhir 2021 hingga awal 2022. Saat itu harga minyak goreng melambung tinggi. Konsumen menjerit, UMKM merana. Berbagai intervensi pemerintah dilakukan, terutama dengan meracik aneka aturan. Menurut catatan, sepanjang Januari-Juli 2022 tak kurang ada 21 regulasi dibuat.
Program Minyak Goreng Rakyat kemudian digulirkan dengan skema DMO. Salah satu kelemahan skema DMO, menurut Chudori, adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Ketika harga CPO naik, otomatis harga MinyaKita juga naik. Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Jika pun terjadi penurunan, biasanya amat lambat. Beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara.
Merujuk data realisasi DMO CPO dari Kementerian Perdagangan, realisasinya selalu melebihi kebutuhan, yakni 250 kiloliter per bulan. Ditambah saat ini DMO hanya untuk produksi Minyakita, minyak goreng curah tidak lagi menggunakan DMO CPO, mestinya MinyaKita melimpah. Masalahnya, tatkala harga minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan premium naik seiring kenaikan harga CPO, amat mungkin terjadi migrasi konsumen. Seiring penurunan daya beli, mereka yang semula mengonsumsi minyak curah dan minyak goreng kemasan bisa beralih ke Minyakita. Jika ini terbukti, migrasi konsumen ini juga bisa berkontribusi kepada kenaikan harga MinyaKita.
Ihwal harga di atas HET, mengacu temuan Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan adalah karena produsen menahan distribusi. Ini juga karena distribusi yang panjang hingga ada distributor level 3 dan 4 atau D3 dan D4. Versi pemerintah, distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp 13.500 per liter. D1 ke D2 seharga Rp 14.000 per liter, D2 ke pengecer Rp 14.500 per liter, dan pengecer ke konsumen Rp 15.700 per liter.
Dengan demikian, tegas Khudori, tidak ada D3 dan D4. Menurutnya, agar distribusi tidak panjang perlu ada keterlibatan BUMN pangan.
"Uraian di atas menunjukkan perlu segera ada koreksi kebijakan Minyakita. Kebijakan saat ini amat tidak menguntungkan produsen. Pengelola kebun sawit, produsen Minyakita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. Kalau ada salah satu yang harus keluar karena ekosistem tidak memungkinkan usaha berlanjut, mata rantai produksi bakal terganggu. Itulah yang berkemungkinan terjadi saat ini," tutur Khudori.
Ke depan, ia mendorong pemerintah agar membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga. Menurutnya, jika hendak mensubsidi Minyakita untuk kelompok miskin atau rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli Minyakita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain.