Prabowo Dituding Alergi Demo, Menteri Pigai: Enggak Usah Percaya
Menurut Pigai, penurunan angka indeks demokrasi terjadi sebelum pemerintahan Prabowo.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai membantah pernyataan mantan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo (Mendiktisaintek) Soemantri Brodjonegoro soal Presiden Prabowo Subianto alergi dengan demonstrasi. Dia menilai, pernyataan itu hanya klaim seseorang.
"Kalau pernyataan sepihak, enggak usah percaya. Enggak usah percaya sepanjang tidak ada cover both side (berimbang), enggak usah percaya," kata Pigai dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa (11/3).
Dia lantas menjelaskan, Presiden Prabowo tidak memiliki masalah dengan demonstrasi yang dilakukan warga negara Indonesia. "Demonstrasi kan parlemen jalanan. Ya boleh dong. Emang kenapa enggak boleh? Alergi? Kok alergi?" kata Pigai.
Sebelumnya, mantan Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam wawancara khusus dengan media di kanal Youtube pada Jumat (7/3/2025), mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo alergi terhadap demo. Satryo menyampaikan pernyataan tersebut merujuk demo pegawai Kemendiktisaintek terhadap dirinya dan aksi mahasiswa mengenai uang kuliah tunggal.
Sebagai orang yang menjadi bagian dari perjalan politik Prabowo, Pigai menegaskan, presiden RI tidak alergi dengan demonstrasi. "Ada enggak kami melaporkan satu orang saja? Kami enggak pernah, biasa aja. Demonstrasi ya, apalagi (melaporkan warga) demonstrasi," jelas mantan komisioner Komnas HAM tersebut.
Selain itu, Pigai menerangkan, penurunan angka indeks demokrasi Indonesia dalam The Democracy Index 2024 oleh Economist Intelligence Unit (EIU) bukan terjadi pada masa Presiden Prabowo. "(Tahun) 2024 itu sebelum pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya karena data ini adalah penilaian turunnya demokrasi pada 2024, berarti sebelum kepemimpinan pemerintah yang baru," katanya.
Pada 2024, angka indeks demokrasi Indonesia sebesar 6,44 atau menurun dari angka indeks 2023 yang tercatat 6,53. Menurut Pigai, penurunan angka indeks demokrasi pada 2024 bukan berarti menunjukkan pemerintah tidak bersahabat dengan demokrasi, melainkan adanya perbedaan variabel penilaian dengan EIU.
Dia menyebut, EIU hanya berfokus pada aspek aturan formal, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, instruksi presiden, dan putusan peradilan yang dinilai mengekang kebebasan demokrasi. Oleh sebab itu, Pigai mengakui, apabila berfokus pada variabel penilaian EIU maka terdapat beberapa aturan yang mengakibatkan penurunan indeks demokrasi di Tanah Air, terutama dari tahun 2015 hingga 2024.
"Pertama, Peraturan Kapolri tentang hate speech (ujaran kebencian) pada 2015 sehingga Peraturan Kapolri tentang hate speech itu sebenarnya mengunci demokrasi," jelasnya.
Kedua, kata Pigai, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur anggota dewan dapat melaporkan warga negara yang memberi protes kepada mereka. Hal itu juga ditandai dengan keputusan pemerintah membubarkan ormas yang dianggap tak sejalan.
"Berikutnya, revisi Undang-Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Perppu tentang Ormas (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017) yang akarnya membubarkan satu, dua ormas yang dianggap bertentangan dengan pemerintah," katanya.
Kemudian, penangkapan aktivis organisasi kemasyarakatan sipil yang terjadi sejak tahun 2015. "Fakta-fakta inilah yang mengunci dinamika demokrasi berkembang di Indonesia sehingga pada saat itu The Economist menyatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun," jelasnya.
Secara khusus, kata Pigai, penurunan angka indeks demokrasi pada 2024, karena adanya upaya DPR RI untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.