Usul Wamenkum Soal Penundaan Proses Hukum Saat Praperadilan Dinilai Pro Tersangka Korupsi

Usulan tersebut dinilai bisa dimanfaatkan tersangka korupsi.

Republika/Prayogi
Wamenkum Edward Omar Sharif Hiariej mengusulkan, ketika seseorang mengajukan permohonan praperadilan, proses hukum itu harus dihentikan untuk sementara waktu.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengkritisi usulan terkait proses hukum agar dihentikan sementara saat praperadilan diajukan oleh tersangka. Fickar memandang usulan tersebut bisa dimanfaatkan tersangka korupsi.

Usulan itu semula disampaikan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Hiariej agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu mengatur ulang terkait praperadilan. "Ya jika usulan itu masuk, itu pertanda KUHAP bisa menjadi bagian yang dimanfaatkan para koruptor," kata Fickar kepada Republika, Senin (17/3/2025).

Baca Juga


Fickar memandang lebih tepat KUHAP baru mencantumkan hak tersangka. Salah satunya ialah hak mendatangkan saksi meringankan di tahap penyidikan.

"Yang harus diperhatikan itu hak-hak tersangka termasuk mengajukan saksi yang meringankan sejak di tingkat penyidikan, bukan menghentikan perkara kecuali atas dasar putusan pengadilan," ujar Fickar.

Atas dasar itulah, Fickar menyentil usulan Wamenkum yang terkesan condong berpihak pada tersangka. Sebab Fickar merujuk aturan lain tak ada yang mengharuskan proses hukum disetop saat praperadilan berjalan.

"Wamenkum itu pendapatnya condong pada tersangka, tidak ada aturan untuk menghentikan perkara kecuali ada putusan pengadilan. Perkara bisa jalan terus bahkan jika sudah diserahkan ke pengadilan maka praperadilan gugur dengan sendirinya," ucap Fickar.

 

Diketahui, saat ini Komisi III sedang menjaring aspirasi untuk menyusun draf revisi undang-undang (RUU) KUHAP. Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menyebut saat ini terdapat lima objek praperadilan yaitu, sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan; sah atau tidaknya penyitaan barang bukti; dan sah atau tidaknya penetapan tersangka; serta ganti rugi atau rehabilitasi. Praperadilan bisa dilakukan untuk semua upaya paksa mulai dari penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

“Praperadilan nantinya akan diperluas,” ujar pria yang akrab disapa Eddy itu pada Ahad (16/3/2025).

Eddy mengatakan, praperadilan harus dilakukan dengan adil. Ketika seseorang mengajukan permohonan praperadilan, proses hukum itu harus dihentikan untuk sementara waktu. Yang terjadi saat ini adalah praperadilan gugur ketika masuk pemeriksaan sidang. Ditambah lagi dengan putusan MK yang menyatakan praperadilan bisa gugur ketika berkas sudah diberikan kepada penuntut umum.

“Saya kira, karena ia melakukan interupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan, maka seharusnya itu disetop, dihentikan untuk sementara waktu sampai putusan praperadilan. Supaya tidak alasan lagi diulur-ulur waktunya, sementara perkara itu berjalan terus sampai tahap penuntutan kemudian hakim menggugurkan dengan alasan perkara sudah masuk ke tahap berikutnya,” ujar Eddy. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler