Pakar Hukum UMY: RUU TNI Kontroversial Sejak Awal
Proses meloloskan RUU TNI perlu diperbaiki di beberapa aspek.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nanik Prasetyoningsih menyoroti kejanggalan yang terjadi selama proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR RI.
Nanik mengingatkan apapun agenda yang direncanakan dalam RUU TNI, harus tetap menjaga keberlangsungan supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Ini sekaligus menyelaraskan adanya batasan yang jelas dan tegas terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil.
“Secara formil, pembahasan RUU TNI ini sudah kontroversial karena tidak melibatkannya meaningful participation dari masyarakat. Karena selama pembahasan dilakukan secara tertutup, muncul kekhawatiran akan berdampak kepada supremasi sipil," kata Nanik dalam keterangan resminya pada Selasa (18/3/2025).
Ketua Program Studi Hukum Program Magister UMY ini menilai hak masyarakat tersebut harus tetap dipenuhi oleh pemerintah. Tujuannya agar tidak menghidupkan kembali sistem dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru.
Nanik merasa substansi RUU TNI yang memperluas jabatan sipil untuk anggota militer aktif menjadikan TNI dapat melakukan intervensi dalam bidang yang kurang sesuai dengan fungsi TNI. Hal tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga terkait di bidang tersebut.
“Kewenangan TNI tersebut masih akan ditambah dengan perluasan tugas operasi militer selain perang yaitu di bidang penanganan narkotika, siber dan informatika, serta konflik WNI di luar negeri. Itu semua tercantum dalam RUU TNI dan perlu diatur dengan tegas batas dari kewenangan di setiap bidang tersebut, karena selama ini sudah ada lembaga yang berwenang seperti BNN, BSSN dan Kementerian Luar Negeri,” ujar Nanik.
Menurut Nanik, ketidaksesuaian yang terjadi dengan adanya dwifungsi militer inilah dapat mengancam supremasi sipil. Nanik menegaskan hubungan antara militer dengan sipil harus dipisah dengan tegas.
Secara objektif, tugas dari militer menurut Nanik adalah pertahanan dan keamanan nasional dan tidak terlibat dalam struktur pemerintahan sipil. Namun dengan RUU TNI, Nanik khawatir tugas tersebut akan bergeser menjadi subjektif.
"Walaupun dengan dalih pengawasan akan lebih melekat, masuknya TNI ke dalam ranah tersebut tetap tidak ia benarkan," ujar Nanik.
Selain itu, Nanik mengingatkan kejanggalan dalam proses meloloskan RUU TNI perlu diperbaiki di beberapa aspek. Salah satunya pembahasan yang harus diulang dan melibatkan lebih banyak masyarakat.
Nanik menyebutkan meaningful participation dari masyarakat dapat memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia juga merasa perlu ada peninjauan ulang dalam substansi dari RUU TNI dan penempatan secara proporsional atas supremasi sipil di Indonesia.
“Sipil dan TNI itu sudah ada tempat dan fungsinya masing-masing, jangan dicampur adukkan. Dwifungsi militer di Indonesia sudah dikoreksi pada saat reformasi, mengapa seakan berniat dihidupkan kembali? Artinya akan terjadi kemunduran dalam demokrasi Indonesia," ujar Nanik.
Diketahui, Komisi I DPR RI baru saja satu suara membawa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) supaya disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI.
Kesepakatan Komisi I DPR RI disampaikan dalam rapat kerja bersama Pemerintah dengan agenda pembicaraan tingkat I pengambilan keputusan terhadap RUU TNI di ruang rapat Banggar DPR RI pada Selasa (18/3/2025).