'RI Rugi Besar Atas Keputusan Konsorsium Korsel Cabut Proyek Rantai Pasok Baterai Rp130 T'

Keputusan Konsorsium Korsel seakan menjadi pukulan telak bagi dunia investasi RI.

Baterai mobil listrik (ilustrasi)
www.pixabay.com
Baterai mobil listrik (ilustrasi)
Rep: Eva Rianti Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keputusan Konsorsium Korea Selatan (Korsel) yang memutuskan untuk menarik proyek senilai sekitar 11 triliun won (Rp 130,7 triliun) untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia, dinilai menjadi kerugian yang besar bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia dinilai perlu lebih serius dalam menanggapi dan bersikap mengenai polemik persoalan iklim investasi semacam itu.

Baca Juga


“Kerugian sangat besar (bagi Indonesia), mengingat investasi yang mereka rencanakan termasuk high quality investment,” kata ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin kepada Republika, Ahad (20/4/2025).

Wijayanto mengatakan, EV merupakan industri yang potensial bagi Indonesia. Hal itu mengingat Indonesia memiliki pasar otomotif dan sumber nikel yang besar. Keputusan Konsorsium Korsel tersebut pun seakan menjadi pukulan telak.

“Sehingga, ia menyebut membangun ekosisten industri EV sangat strategis bagi Indonesia. Sayangnya, kali ini kita akan kalah lagi dari Vietnam dan Thailand,” ungkapnya.

Menurut analisis Wijayanto, penyebab Konsorsium Korsel memutuskan hal tersebut adalah karena dua hal, yakni faktor pasar dan lingkungan investasi. Ia menjelaskan, faktor pasar merupakan variabel global, sedangkan lingkungan investasi adalah variabel domestik. Ia pun menitikberatkan tentang lingkungan investasi yang mesti dievaluasi atas persoalan tersebut.

“Iklim investasi di Indonesia memang masih kurang kondusif, terutama terkait dengan tumpang tindih aturan, praktek premanisme, ketidakpastian hukum dan budaya korupsi yang merajalela,” terangnya.

Kalah langkah

Wijayanto menilai bahwa Indonesia memang kalah langkah, dibandingkan dengan Vietnam misalnya. Ia menerangkan, setelah berhasil membangun ekosistem industri gadget dan ICT, kini Vietnam mulai merambah ke industri EV.

Tetapi ia mengungkapkan, Indonesia masih bisa mengejar ketertinggalan. Sebab, sumber daya nikel dan pasar yang besar menjadi kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia.

“Itu (sumber daya nikel dan pasar yang besar) yang Vietnam tidak punya,” ujar dia.

Oleh sebab itu, sebagai langkah pertama pemerintah, Wijayanto berargumen bahwa pemerintah bisa melakukan negosiasi terhadap Konsorsium Korsel untuk membatalkan keputusan tersebut. Sehingga nilai investasi yang seratusan triliun itu tidak lenyap begitu saja.

“Nego perlu dilakukan, tetapi yang paling penting adalah mencarikan solusi akar permasalahan yang menyebabkan iklim investasi kita buruk,” tegasnya.

Iklim berinvestasi di Indonesia harus dievaluasi secara serius oleh pemerintah. Menurut Wijayanto, situasi investasi yang tidak kondusif terbukti menimbulkan pembatalan bagi pihak yang sebelumnya telah berinvestasi.

“Jika kita tak buru-buru memperbaiki, investasi akan malas masuk Indonesia. Yang belum masuk malas masuk, yang sudah di dalam malas berekspansi atau bahkan mencoba realokasi, yang sudah berkomitmen malas merealisasikan bahkan membatalkan,” jelasnya.

Indonesia menargetkan menjadi pemain utama industri baterai listrik global. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

Sebelumnya seperti diberitakan Yanhap, Jumat (18/4/2025), Konsorsium Korsel yang dipimpin oleh LG telah memutuskan untuk menarik proyek senilai sekitar 11 triliun won (Rp 130,7 triliun) untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia. Konsorsium tersebut, yang meliputi LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra lainnya, telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan sejumlah perusahaan milik negara untuk membangun "rantai nilai menyeluruh" untuk baterai EV.

Inisiatif tersebut berupaya untuk mencakup seluruh proses mulai dari pengadaan bahan baku hingga produksi prekursor, bahan katode, dan pembuatan sel baterai. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, bahan utama dalam baterai EV.

Sumber tersebut mengatakan konsorsium itu telah memutuskan untuk menarik proyek tersebut, setelah berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia, karena adanya pergeseran dalam lanskap industri, khususnya yang disebut ‘jurang’ EV, yang merujuk pada perlambatan sementara atau puncak permintaan EV global.

“Mempertimbangkan kondisi pasar dan lingkungan investasi, kami telah memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut,” kata seorang pejabat dari LG Energy Solution.

“Namun, kami akan melanjutkan bisnis kami yang ada di Indonesia, seperti pabrik baterai Hyundai LG Indonesia Green Power (HLI Green Power), usaha patungan kami dengan Hyundai Motor Group,” lanjutnya. 

Ekosistem baterai dan kendaraan listrik Indonesia di PT Hyundai LG Indonesia atau HLI Green Power di Karawang, Jawa Barat, diresmikan pada 3 Juli 2024, oleh Bahlil Lahadalia yang kala itu menjabat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tiga fasilitas produksi yang diresmikan adalah pabrik baterai sel dengan nilai investasi tahap pertama 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp19,67 triliun, battery pack dengan nilai investasi 42,12 juta dolar AS (Rp690,49 miliar), dan perakitan mobil Hyundai Kona Electric dengan nilai investasi 1,5 miliar dolar AS (Rp24,59 triliun).

Saat itu Bahlil meyakini Indonesia bisa menjadi salah satu negara pemain ekosistem baterai mobil, khususnya yang berbahan baku dari nikel. Keyakinan itu disampaikan Bahlil menyusul peresmian.

“Saya tanya sudah ada belum di dunia yang membangun ekosistem baterai mobil terintegrasi dari hulu sampai menjadi mobil, ternyata belum ada dan Indonesia yang pertama melakukan ini,” kata Bahlil dalam acara peresmian.

Secara keseluruhan, realisasi investasi HLI untuk ketiga proyek ekosistem baterai dan kendaraan tersebut mencapai 4,46 miliar dolar AS atau Rp73,11 triliun, dan menciptakan lapangan kerja bagi 4.849 tenaga kerja lokal. Pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang, yang dibangun pada September 2021, merupakan pabrik sel baterai pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

Menurut Bahlil, investasi Korsel dalam lima tahun terakhir sejak 2019 mencapai 14 miliar dolar AS atau kurang lebih Rp200 triliun. Investasi ini lebih banyak mengarah pada sektor hilirisasi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler