AS Ingin Aturan Halal di Indonesia Diubah, Ini Saran untuk BPJPH

AS menilai aturan halal di Indonesia menghambat perdagangan.

Ilustrasi Logo Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Logo Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Rep: Fuji E Permana Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Halal Corner menanggapi pemerintah Amerika Serikat (AS) yang protes dan menganggap aturan halal di Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan bagi mereka. Halal Corner meminta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tegas, kuat dan tidak terpengaruh ancaman Amerika Serikat (AS).

Baca Juga


Founder Halal Corner, Aisha Maharani mengatakan, Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 adalah salah satu upaya perangkat hukum untuk menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi oleh Muslim di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Muslim menjadi penduduk dengan populasi paling besar di negara Indonesia.

"Setiap negara mempunyai kebijakan masing masing yang harus dihormati oleh negara lain termasuk Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia, termasuk kebijakan aturan halal di Indonesia," kata Aisha kepada Republika, Senin (21/4/2025)

Aisha mengatakan, negara yang diwakili badan negara yakni BPJPH harus tegas dan kuat sebagai negara berdaulat tidak terpengaruh ancaman AS. Dengan AS menentukan tarif tinggi pada negara Indonesia, maka layak bagi negara Indonesia untuk menegaskan aturan halal ini pada produk-produk impor dari Amerika. 

"Semoga BPJPH yang kini di bawah langsung pengawasan presiden bisa mengemban kehormatan negara Indonesia melalui halal," ujar Aisha.

Di Kantor BPJPH, Kepala BPJPH, Babe Haikal Hasan masih belum mau memberikan tanggapan saat diminta tanggapan terkait Amerika yang protes dan menganggap aturan halal di Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan bagi mereka.

"Akan kami jawab setelah kami melakukan hubungan langsung ke Amerika," kata Babe Haikal, Senin (21/4/2025)

Babe Haikal mengatakan, hari ini hanya urusan pengumuman ada produk yang mengandung unsur babi di Indonesia.

 

Sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) menganggap, aturan halal di Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan bagi mereka. Hal itu pun menjadi salah satu alasan pemerintah AS di bawah Donald John Trump mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia.

Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, munculnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dianggap menganggu pemangku kepentingan AS. Mereka komplain dengan aturan halal yang diterapkan Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib untuk makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang dijual di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini.

"Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan tindakan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan komentar pemangku kepentingan, sebagaimana disyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO)," begitu dokumen tersebut dikutip Republika.co.id di Jakarta, Ahad (20/4/2025).

Memang, selama lima tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan pola pemberitahuan langkah-langkah penerapan hukum halal kepada WTO hanya setelah langkah-langkah tersebut mulai berlaku. Hal itu termasuk beberapa langkah penerapan utama yang dirinci di bawah ini.

"Keputusan Menteri Agama (MORA) No. 748/2021 menguraikan berbagai macam produk yang memerlukan sertifikasi halal. Peraturan ini diubah dengan Keputusan MORA No. 944/2024 untuk kategori makanan dan minuman. Jenis produk lainnya, seperti obat-obatan, kosmetik, produk rekayasa genetika, produk kimia, produk biologi, dan barang konsumsi masih mengacu pada Keputusan MORA No. 748/2021. Keputusan MORA No. 1360/2021, juga dikenal sebagai "daftar positif" halal, menetapkan daftar makanan, bahan, aditif, dan bahan lain yang tidak diwajibkan untuk memperoleh sertifikasi halal," demikian isi dokumen keberatan AS.

 

AS menganggap hal itu adalah dokumen yang hidup, artinya dapat diubah tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru. Keputusan Menteri Agama Nomor 816 Tahun 2024 mengidentifikasi produk makanan dan minuman tertentu (berdasarkan kode HS) yang wajib disertifikasi halal. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 3 Tahun 2023 mengatur akreditasi badan sertifikasi halal (BPH) asing dan penilaian kesesuaian yang harus mereka selesaikan.

"Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan-auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi secara tidak perlu bagi BPH AS yang ingin mendapatkan akreditasi untuk menerbitkan sertifikat halal bagi ekspor AS ke Indonesia," kata isi dokumen tersebut.

Langkah terakhir untuk memperoleh pengakuan adalah bagi setiap BPH untuk membuat Perjanjian Pengakuan Bersama (MRA) dengan BPJPH dan menerima sertifikat akreditasi. PP Nomor 39 Tahun 2021 mempertahankan jadwal awal untuk penerapan sertifikasi halal wajib secara bertahap, termasuk untuk: produk makanan dan minuman (paling lambat Oktober 2024); obat tradisional dan suplemen makanan, kosmetik, produk kimia, dan organisme hasil rekayasa genetika, barang sandang, peralatan rumah tangga, produk perkantoran, dan alat kesehatan golongan A (paling lambat Oktober 2026); obat bebas dan alat kesehatan golongan B (paling lambat Oktober 2029); dan obat resep dan alat kesehatan golongan C (paling lambat Oktober 2034).

Berikutnya, pada Januari 2023, telah diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi, dan Alat Kesehatan yang mewajibkan alat kesehatan golongan D untuk mendapatkan sertifikasi halal paling lambat bulan Oktober 2039.

Pada 18 Oktober 2024, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 dan memperpanjang batas waktu “hingga” tanggal 17 Oktober 2026 untuk makanan dan minuman impor (dengan beberapa ketentuan).

Peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk menentukan tanggal pasti perpanjangan tersebut. "Amerika Serikat terus menyuarakan kekhawatirannya terhadap peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 di Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO," lanjut isi dokumen itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler