Fenomena Duck Syndrome Terjang Kelas Menengah: Tenang di Luar, ‘Habis-habisan’ di Dalam
Rata-rata tabungan masyarakat disebut hanya sekitar Rp4,6 juta (November 2024).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah kamu tahu fenomena duck syndrome? Istilah duck syndrome merujuk pada individu yang tampak tenang dan tanpa usaha di permukaan namun sebenarnya berjuang keras di bawahnya.
Kondisi ini dinilai sebagai cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia. Di tengah tuntutan gaya hidup modern, persaingan karier yang ketat, dan biaya hidup yang terus meningkat, kelompok ini seringkali merasa terbebani untuk selalu tampil sukses dan mapan.
Pakar ekonomi dari IPB University, Dr Anisa Dwi Utami, mengatakan fenomena duck syndrome atau sindrom bebek menjadi cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia. “Individu dari kelompok kelas menengah sering dituntut untuk tampil sukses, stabil, dan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka menghadapi tekanan besar secara emosional dan finansial,” kata Anisa dalam keterangan tertulis seperti dikutip Rabu (23/4/2025).
Ia mengatakan, harapan tinggi dan keluarga, persaingan akademik dan profesional serta ekspektasi sosial yang diperkuat oleh media sosial membuat banyak orang merasa harus tampil sempurna. Kondisi ini, menurutnya, diperparah oleh terbatasnya akses terhadap dukungan psikologis serta stigma tergadap masalah kesehatan mental, sehingga beban yang dirasakan kerap disembunyikan demi menjaga citra.
Anisa juga menyoroti bahwa saat ini kelas menengah mengalami tekanan ekonomi yang nyata. Tingginya inflasi dan stagnasi pendapatan menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan biaya hidup yang meningkat.
“Harga pangan, terutama beras, naik signifikan dan memaksa banyak keluarga mengalokasikan sebagian besar pendapatan hanya untuk kebutuhan pokok,” kata dia.
Ia melanjutkan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 semakin menekan daya beli, apalagi jika kenaikan upah minimum hanya berkisar 3-4 persen, situasi diperburuk oleh meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peralihan pekerja ke sektor informal. Data terbaru menunjukkan rata-rata tabungan masyarakat kini hanya sekitar Rp 4,6 juta (November 2024), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Kondisi ini, menurut Anisa, menunjukkan ketidakmampuan kelas menengah untuk mengimbangi biaya hidup yang melonjak.
Ia menyarankan agar masyarakat kelas menengah untuk memperkuat literasi keuangan, menyusun anggaran bulanan secara disiplin, serta memprioritaskan kebutuhan pokok dan tabungan. Selain itu, diversifikasi pendapatan dan peningkatan keterampilan juga penting untuk menjaga stabilitas finansial.
“Dengan kombinasi antara pengelolaan keuangan yang bijak dan pengembangan diri, masyarakat kelas menengah dapat lebih tahan terhadap tekanan ekonomi dan tetap sehat secara finansial,” kata dia.
Duck syndrome dari sisi psikologis
Dilansir laman Psych Central, duck syndrome terjadi ketika seseorang berusaha keras untuk menciptakan dan mempertahankan ilusi kehidupan yang sempurna di mata orang lain, meskipun di balik layar mereka berjuang dan berusaha keras untuk menjaga ilusi tersebut tetap utuh. Istilah ini terinspirasi dari gambaran seekor bebek yang tampak tenang dan meluncur mulus di permukaan air, padahal di bawahnya kakinya bergerak cepat dan tanpa henti untuk tetap maju. Sindrom ini pertama kali dicetuskan di Universitas Stanford dan meskipun bukan merupakan diagnosis gangguan kesehatan mental formal, dampaknya terhadap kesejahteraan mental seseorang bisa sangat signifikan.
Individu yang mengalami duck syndrome sering kali diliputi oleh ketakutan akan penilaian orang lain jika mereka mengetahui bahwa kehidupan mereka jauh dari sempurna. Mereka mungkin merasa terisolasi, seolah-olah tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami atau dapat berempati dengan apa yang mereka alami. Namun, penting untuk disadari bahwa individu dengan duck syndrome tidaklah sendirian, ada banyak orang yang merasakan tekanan serupa untuk selalu tampil sempurna.
Tanda dan gejala duck syndrome
Meskipun duck syndrome belum diakui sebagai diagnosis resmi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), ada beberapa tanda dan gejala umum yang sering kali dialami oleh mereka yang bergumul dengan fenomena ini. Gejala-gejala tersebut meliputi kecenderungan untuk terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, sering kali merasa bahwa orang lain lebih baik atau lebih sukses, dan adanya perasaan kuat bahwa mereka gagal memenuhi tuntutan dan ekspektasi hidup.
Selain itu, individu dengan duck syndrome mungkin juga menunjukkan ketakutan berlebihan untuk diawasi atau dikritik, serta perasaan paranoid bahwa orang lain sengaja menciptakan situasi untuk menguji kinerja mereka. Lebih lanjut, duck syndrome berpotensi memicu atau memperburuk kondisi kesehatan mental yang mendasarinya, seperti depresi dan kecemasan, atau gejala kesehatan mental lainnya. Faktor-faktor seperti tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat menekankan pada pencapaian atau dibesarkan oleh pengasuh yang terlalu protektif juga dapat berkontribusi pada perkembangan duck syndrome.
Mengatasi duck syndrome
Mengatasi duck syndrome bisa menjadi tantangan tersendiri karena pemahaman yang mendalam tentang fenomena ini masih terbatas. Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu individu mengatasi tekanan untuk selalu tampil sempurna ini. Mengingat duck syndrome dapat berkontribusi pada perkembangan depresi dan kecemasan, pendekatan penanganannya seringkali serupa dengan metode pengobatan untuk kedua kondisi tersebut.
Menjalani psikoterapi dengan seorang profesional kesehatan mental dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang dibutuhkan untuk mengatasi duck syndrome. Terapis dapat membantu individu mengidentifikasi akar permasalahan, mengembangkan mekanisme koping yang sehat, dan membangun rasa percaya diri yang tidak bergantung pada validasi eksternal.
Terapi juga dapat membantu individu mengatasi perasaan terbebani oleh tuntutan hidup dan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan. Membangun hubungan yang baik dan saling percaya dengan terapis adalah kunci untuk mendapatkan manfaat maksimal dari proses terapi.
Langkah penting lainnya dalam mengatasi sindrom bebek adalah dengan memprioritaskan perawatan diri. Ini berarti memberikan izin pada diri sendiri untuk tidak selalu sempurna dan mengakui bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Mencari dukungan dari orang-orang terdekat, seperti teman dan keluarga, juga sangat penting.