3 Biang Kerok Penghancur Islam yang Diserang Imam al Ghazali dalam Ihya Ulumiddin
Al Ghazali menilai ketiga kelompok itu hanya mengedepankan nafsu duniawi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hujjatul Islam atau argumentasi agama Islam, Imam al Ghazali merupakan ulama otoritatif. Meski hidup seribu tahun lalu, namanya masih saja disebut. Tulisannya masih dibaca dan dikutip hingga detik ini.
Selama hidupnya, dia dikenal sebagai ulama yang berani mengkritik kelompok-kelompok yang dianggap menyelewengkan ajaran Islam. Dalam al Munqidz minad Dhalal misalkan, dia bercerita dalam bentuk tulisan, berhadapan dengan kelompok yang selalu mengatakan bahwa pemahaman tertentu tentang esoterisme Islam hanya bisa disampaikan oleh orang khusus seperti golongan mursyid.
Istilah mursyid berarti guru. Biasanya mereka adalah guru atau tokoh utama yang memberikan penjelasan mengenai ilmu dan spiritualisme Islam kepada banyak orang.
Kemudian al Ghazali bertanya mengapa demikian. Orang-orang tersebut tidak bisa memberikan penjelasan yang komprehensif. Tak sampai di situ, al Ghazali juga meminta si mursyid datang untuk memberikan penjelasan. Namun penjelasan sang mursyid tidak membuat al Ghazali puas.
Ulama asal Thus Persia ini juga mengkritik sejumlah filsuf yang dianggapnya memiliki pemikiran yang menyimpang, yaitu gagasan tentang keabadian alam.
Dalam Tahafut al Falasifah, al Ghazali menyerang pemikiran demikian dengan keras. Bahkan hal tersebut juga dia sampaikan dalam Mi’rajus Salikin. Filsuf yang demikian dinilainya sama saja dengan bersyahadat mengakui keabadian Allah, tapi juga mengakui bahwa ada yang abadi selain Allah. Hal tersebut dinilainya merusak syahadat yang sudah diucapkan dan diyakini.
Dia juga banyak memberikan koreksi dan catatan mengenai kehidupan dalam banyak karyanya. Salah satu yang menjadi buku monumental karangan al Ghazali adalah Ihya Ulumiddin. Mengapa disebut Ihya, ada dua alasan.
Menyerang tiga kelompok pendosa
PERTAMA, melalui buku super tebal yang terdiri dari beberapa jilid itu, dia menyerang tiga kelompok pendosa yang dianggapnya sebagai biang kerok kehancuran peradaban Islam. Siapa saja mereka? Berikut ini ulasannya.
Pertama adalah penebar fitnah
Penyebar fitnah disebut pemfitnah atau yang membuat fitnah. Fitnah adalah perbuatan menyebarkan berita bohong atau tuduhan tanpa dasar kebenaran untuk menjelekkan atau merusak reputasi orang lain. Dalam Islam, fitnah dianggap dosa besar dan sangat dilarang.
Selain istilah pemfitnah, ada juga istilah lain yang sering digunakan untuk menggambarkan orang yang menyebarkan fitnah, seperti:
Penyebar berita bohong. Istilah ini lebih umum dan mengacu pada siapa saja yang menyebarkan informasi palsu, tidak peduli apakah itu fitnah atau bukan.
Orang yang membuat keributan. Fitnah seringkali menciptakan konflik atau keributan di antara orang-orang, sehingga istilah ini juga relevan.
Pencemar nama baik. Fitnah sering kali bertujuan untuk merusak nama baik atau reputasi seseorang, sehingga istilah ini juga sering digunakan.
ٱلْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلْقَتْلِ
Al-fitnatu asyaddu minal-qatl
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Kebanyakan ahli tafsir menjelaskan kandungan frasa ayat ini bahwa, (dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan). Yakni fitnah (cobaan) yang ingin mereka timpakan kepada Muslim; berupa kembali kepada kekufuran itu lebih kejam daripada pembunuhan andai mereka membunuh kalian. Pendapat lain mengatakan, yang dimaksudkan adalah kesyirikan yang ada pada mereka lebih buruk daripada pembunuhan yang dibesar-besarkan.
Kedua, orang-orang yang lalai dalam urusan agama
Dalam Surah al Maun, Allah menyebut mereka adalah orang-orang yang membohongi agama (yukadzibu bid din). Mereka adalah orang-orang yang menyepelekan agama, sebagaimana dijelaskan Allah dalam al Baqarah ayat 41,
وَءَامِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّٰىَ فَٱٱتَّقُونِ
wa āminụ bimā anzaltu muṣaddiqal limā ma’akum wa lā takụnū awwala kāfirim bihī wa lā tasytarụ bi`āyātī ṡamanang qalīlaw wa iyyāya fattaqụn
Berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Alquran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Penekanannya pada kalimat laa tasytaru bi ayati tsamanan qalila. Kebanyakan ulama menjelaskan kandungan kalimat ini, janganlah menukarkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Allah dengan kehidupan yang kebaikannya hanya sedikit ini dan jabatan yang remeh yang tak ada artinya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:
Janganlah mengganti keimanan kepada ayat-ayatKu, dan rasulKu dengan harta dan nafsu. karena semua itu hanya sebentar dan merupakan sesuatu yang fana. Sebagaimana yang dikatan oleh Abdullah bin Mubarak, bahwa Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Harun bin Yazid, memberitahu kami: "Al-Hasan (yaitu Hasan Al-Bashri) ditanya tentang firman Allah: (harga yang rendah), dia menjawab: Harga yang rendah itu adalah dunia beserta segala hiasannya."
Abu Al-'Aliyah berkata tentang firman Allah SWT (dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah) maknanya adalah janganlah mengambil imbalan atas ayat-ayatNya. Dia berkata: "Dan hal iitu tertulis pada kitab pertama yang ada pada mereka: “Wahai anak cucu Adam, ilmu itu dipelajari secara gratis, sebagaimana kamu diajari secara gratis."
Dikatakan bahwa maknanya adalah jangan mengganti penjelasan, keterangan, dan penyebaran ilmu yang bermanfaat bagi manusia dengan menyembunyikannya dan menyamarkannya agar kalian bisa berada di atas kepemimpinan di dunia yang rendah, hina, dan akan segera berlalu.
Jelas orang-orang yang lalai dalam urusan agama yang dimaksud al Ghazali adalah mereka yang lebih mendahulukan urusan duniawi daripada ukhrawi.
Ketiga, kelompok orang-orang yang sombong
Orang sombong adalah seseorang yang memiliki sikap tinggi diri, merasa lebih baik atau unggul daripada orang lain, dan cenderung meremehkan atau merendahkan orang lain. Dalam bahasa agama, kesombongan disebut takabbur, yaitu sifat yang membuat seseorang merasa bahwa dirinya lebih mulia atau hebat daripada orang lain.
Sifat sombong bisa jadi karena banyaknya harta yang dimiliki, cantiknya wajah yang dipunyai atau luasnya ilmu.
Tak heran bila 'virus' ini bisa menjangkiti siapa saja. Siapa pun harus waspada. Apa pun yang kita miliki, sesungguhnya semua berasal dari Allah SWT dan sewaktu-sewaktu bisa meninggalkan kita atau kita meninggalkannya. Tak jarang itu terjadi dalam sekejap mata.
Begitu pun mereka yang melakukan kebajikan, tak layak untuk sombong. Apalagi sampai berpikir bahwa amal-amal yang dilakukannya akan mengantarkannya menuju surga atau menghindarkannya dari neraka.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat, ''Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (al-husna) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.'' (QS Yunus: 26).
Beliau berkomentar, "Mereka (penghuni surga itu) sebenarnya tidak layak mendapatkannya karena amal perbuatan mereka, melainkan berkat kemurahan dan rahmat Allah SWT semata."
Memang demikian halnya, andai bukan karena taufik, hidayah, dan kekuatan yang diberikan Allah SWT, tak seorang pun di antara kita melakukan kebajikan. Bahkan, kendati pun sekadar membuang duri dari jalanan.
Namun, tidaklah bisa disebut sombong orang yang rajin beribadah disebabkan ia (memang) takut (khauf) akan ancaman neraka-Nya, atau karena ia mengharap (roja') akan surga-Nya. Kedua sikap ini tidak bertentangan dengan keridhaan-Nya.
Al Ghazali menilai ketiga golongan ini sebagai ancaman terhadap keberlangsungan Islam. Sebab mereka mendasarkan kehidupannya pada nafsu duniawi dan keduniaan, yang jauh dari ketulusan dan kemurnian spiritualisme Islam.
Dengan keras, al Ghazali menyebut ketiga golongan tadi, "Telah menutup mata dari kebenaran yang gamblang, dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang hampa lagi tak bernilai."
Satu lagi, al Ghazali menilai mereka lebih condong kepada kebodohan daripada kecerdasan. Kalaupun terlihat berilmu, mereka sejatinya adalah kelompok orang yang tidak bisa memberikan manfaat dan maslahat dengan ilmu yang dimiliki.
KEDUA, melalui Ihya, al Ghazali ingin mengantarkan manusia kepada kemuliaan hidup, yaitu yang lebih mengedepankan dimensi ukhrawi dan lebih memberikan manfaat kepada banyak orang.
Dalam hal ini, al Ghazali memprihatinkan kondisi masyarakat di zamannya yang lebih mengedepankan ilmu ilmu zahir seperti fikih dan debat yang mengesampingkan dimensi ukhrawi. Banyak orang ketika itu menganggap keduanya sebagai penguat politik kekuasaan.
Sementara ilmu yang berdimensi ukhrawi seperti yang merujuk kepada hikmah malah diabaikan. Padahal ilmu seperti ini yang dibutuhkan masyarakat luas. Karena itulah al Ghazali menyusun Ihya, sebagai upaya melestarikan ilmu ilmu agama sebagaimana dahulu diajarkan orang-orang shaleh terdahulu (salafus shalih).