Etika Pariwara Indonesia

Etika Pariwara Indonesia

retizen /
.
Red: Retizen

Etika Pariwara Indonesia


Etika Pariwara Indonesia Amandemen 2020 hadir sebagai pedoman moral dan profesional bagi seluruh pelaku industri periklanan di Indonesia. Dokumen ini bukan hanya kumpulan aturan teknis, tetapi cermin nilai-nilai luhur bangsa yang menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap keberagaman. Namun, sebagaimana etika dalam konteks apa pun, implementasi nilai-nilai ini di lapangan sering kali menemui tantangan, bahkan paradoks.

Landasan Ideal: Melindungi Konsumen dan Menjaga Integritas

Etika ini mencakup banyak hal mulai dari larangan penggunaan kata atau visual yang menyesatkan, hingga pengaturan konten iklan untuk anak-anak dan pelarangan diskriminasi gender, ras, atau agama . Secara normatif, semua ini penting. Masyarakat Indonesia sebagai konsumen memang layak mendapat perlindungan dari konten manipulatif dan eksploitasi emosional.

Namun, jika kita cermati lebih jauh, banyak iklan baik di televisi, media sosial, hingga papan reklame yang masih menampilkan stereotip gender, narasi konsumtif, hingga glorifikasi produk secara berlebihan. Artinya, meski aturan sudah ada, pengawasan dan penegakannya belum maksimal.

Pelanggaran yang Dianggap ‘Biasa’

Salah satu poin penting dari amandemen ini adalah larangan eksploitasi seksual dalam bentuk apa pun. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tubuh perempuan masih sering dijadikan objek pemasaran, bahkan untuk produk-produk yang sama sekali tidak relevan seperti oli motor atau elektronik rumah tangga .

Kita juga melihat maraknya iklan digital yang menggunakan clickbait dan testimonial palsu, melanggar asas kejujuran yang diatur dalam dokumen ini. Sayangnya, iklan-iklan semacam ini justru efektif dalam menarik perhatian, sehingga banyak brand mengabaikan etika demi engagement.

Opini Kritis: Etika Tanpa Sanksi Adalah Himbauan, Bukan Aturan

Etika Pariwara Indonesia bersifat normatif—artinya, tidak memiliki kekuatan hukum formal. Pelanggaran terhadap etika ini tidak serta-merta menimbulkan sanksi hukum, melainkan hanya teguran atau pencabutan materi iklan jika diproses melalui Dewan Periklanan Indonesia. Dalam industri yang sangat kompetitif, pendekatan semacam ini terasa lemah. Etika tanpa penegakan hukum yang tegas akan sulit bersaing dengan logika pasar yang hanya peduli pada angka.

Selain itu, tanggung jawab etika dalam dokumen ini dibebankan secara kolektif pada “semua pelaku periklanan”. Ini baik, tapi terlalu general. Siapa yang bertanggung jawab ketika agensi kreatif membuat konten melanggar etika atas permintaan klien? Siapa yang mengawasi iklan personal di media sosial yang kian banyak? Tantangan baru dari era digital ini belum terjawab secara konkret dalam amandemen 2020.

Penutup: Saatnya Revisi Sekaligus Refleksi

Etika Pariwara Indonesia adalah pijakan penting dalam membangun iklim periklanan yang sehat, jujur, dan manusiawi. Tapi dalam praktiknya, etika ini masih perlu penguatan institusional dan pengawasan yang lebih sistematis, terutama untuk platform digital. Revisi etika berikutnya harus lebih progresif—bukan hanya pada substansi, tetapi juga pada mekanisme penegakan dan adaptasi terhadap perkembangan zaman.

sumber : https://retizen.id/posts/524012/etika-pariwara-indonesia
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler