MUI Tegaskan Keterlibatan Negara dalam Pengelolaan Zakat Sah dan Penting

Fatwa MUI simpulkan negera boleh mengumpulkan zakat.

dok MUI
Ketua MUI Bidang Informasi Komunikasi, KH Masduki Baidlowi menegaskan pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam pengelolaan zakat. Peran pemerintah tak diabaikan, partisipasi masyarakat tetap difasilitasi,
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat adalah sah secara agama dan penting secara sosial.

Baca Juga


Pernyataan ini disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi merujuk pada Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat yang menegaskan peran fasilitatif negara dalam pembentukan lembaga pengelola zakat.

“Pemerintah dan masyarakat sama-sama menjalankan peran penting dalam pengelolaan zakat. Peran pemerintah tidak diabaikan, partisipasi masyarakat tetap difasilitasi,” ujar Kiai Masduki dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (18/5/2025).

Menurut fatwa tersebut, pembentukan amil zakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu diangkat langsung oleh pemerintah atau dibentuk oleh masyarakat dengan pengesahan dari pemerintah.

Rujukan klasik dalam Kitab Fath al-Qarib menyebut bahwa amil adalah pihak yang ditugaskan oleh pemimpin negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.

“Ini menunjukkan, sejak dulu peran negara dalam pengelolaan zakat sudah dikenal. Keterlibatan ini dalam rangka mewujudkan kemaslahatan,” ucap dia.

Masduki menekankan, relasi antara agama dan negara di Indonesia bersifat simbiotik. Negara tidak mencampuri urusan doktrin, tetapi memfasilitasi tata kelola kehidupan beragama, termasuk dalam urusan zakat. 

BACA JUGA: Negara Islam yang Ditakuti Israel Ini Peringkat ke-4 Hasil Tes IQ Tertinggi Dunia

“Negara tidak mewajibkan zakat, karena itu ranah agama. Namun karena zakat punya dimensi publik yang mendukung kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan, negara hadir melalui pembentukan Baznas,” kata dia.

Baznas, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011, adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang bertanggung jawab kepada Presiden.


 

Selain Baznas, negara juga memfasilitasi partisipasi masyarakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ). Masyarakat dapat membentuk LAZ dengan izin dari Menteri Agama dan rekomendasi dari Baznas.

“Tujuannya agar tata kelola zakat lebih terintegrasi, akuntabel, dan efektif,” jelas Kiai Masduki.

Baik Baznas maupun LAZ diwajibkan melaporkan kegiatan dan keuangannya secara berkala. Baznas di tingkat kabupaten/kota wajib melapor ke Baznas provinsi dan pemerintah daerah, sedangkan Baznas pusat melapor ke Presiden melalui Menteri Agama serta ke DPR.

Keduanya juga wajib menjalani audit syariah dan audit keuangan sebagaimana diatur dalam PP No. 14 Tahun 2014.

“Ini bentuk penataan sistemik. Jika ada kekurangan, yang perlu dilakukan adalah perbaikan, bukan penghapusan peran negara,” ujar dia.

Masduki juga menegaskan bahwa keterlibatan negara tidak mematikan inisiatif masyarakat. Bahkan peran amil perorangan, seperti yang dilakukan oleh para kiai di pesantren atau takmir masjid di daerah terpencil, masih diperbolehkan.

“Syaratnya mudah, cukup memberitahukan secara tertulis ke Kepala KUA setempat,” jelas dia.

BACA JUGA: Ekspor Senjata ke Israel Terbongkar, Pemerintah Inggris Dituduh Berbohong

Data menunjukkan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan zakat terus meningkat. Sebelum UU Zakat disahkan, hanya terdapat 18 LAZ resmi. Kini jumlahnya mencapai 181, terdiri dari 48 LAZ nasional seperti Dompet Dhuafa, LAZISNU, dan LAZ Muhammadiyah, 41 LAZ provinsi, dan 92 LAZ kabupaten/kota.

Menariknya, pengumpulan dana zakat oleh LAZ secara nasional bahkan melampaui Baznas. Pada 2023, total zakat yang dikumpulkan LAZ mencapai Rp 6,5 triliun, sementara Baznas menghimpun sekitar Rp 3,7 triliun.

“Ini bukti bahwa dengan tata kelola yang baik dan partisipatif, zakat dapat menjadi instrumen penting dalam pembangunan kesejahteraan umat,” kata Kiai Masduki.

Penjual melayani pembeli di Gerai Z-Ifthar di Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/3/2024). BAZNAS meresmikan Gerai Z-Ifthar untuk memberdayakan UMKM binaan. Peresmian Z-Ifthar di Kebon Manggis, Jakarta Timur menjadi simbolisasi pelaksanaan kegiatan Z-Ifthar yang telah berjalan sejak awal bulan Ramadan di 20 lokasi dari 10 provinsi. Setidaknya terdapat sebanyak 600 penerima manfaat dari pelaku UMK dari 20 lokasi yang terdampak program Z-Ifthar ini. - (Dok Republika)

 

 

Meskipun takmir masjid diperbolehkan mengumpulkan zakat, ada regulasi yang dinilai membatasi peran masjid dalam penghimpunan zakat. Sehingga, penghimpunan masjid pun mengalami penurunan.

Penurunan drastis dalam pengumpulan zakat ini diungkapkan tokoh Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Ustadz Muhammad Jazir. Karena itu, beberapa waktu lalu Ustadz Jazir bersama Indonesia Zakat Watch (IZW) mengajukan permohonan uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan judicial review tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 54/PUU-XXIII/2025 dan telah memasuki sidang perdana di Gedung MK, Jakarta. Dalam keterangannya usai persidangan, Ustadz Jazir menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak regulasi yang membatasi peran masjid dan panitia zakat dalam penghimpunan zakat.

“Selama ini ada narasi bahwa panitia zakat di masjid bukan amil yang sah karena tidak memiliki SK resmi dari pemerintah, tidak bergaji, dan tidak memiliki nomor induk. Padahal secara historis dan kultural, masjid-masjid telah menjadi pusat pengelolaan zakat umat,” ujar Ustadz Jazir kepada //Republika.co.id// usai sidang perdana di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

Dia menyebut, dampak nyata dari regulasi ini adalah berkurangnya penerimaan zakat di tingkat masjid. Hal ini disebabkan antara lain karena para muzaki yang membutuhkan kwitansi resmi untuk keperluan pengurangan pajak tidak bisa memperolehnya dari masjid, melainkan hanya dari lembaga yang diakui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).

“Para profesional seperti dokter misalnya, yang biasa menyalurkan zakat dalam jumlah puluhan juta, kini menyalurkannya ke Baznas karena masjid tak bisa mengeluarkan kwitansi yang dapat dipakai untuk pengurangan pajak penghasilan,” ucap dia.

Lebih jauh, Ustadz Jazir menyoroti posisi Baznas yang dinilainya menjalankan fungsi ganda sebagai regulator sekaligus operator. Menurut dia, kondisi ini menciptakan kesan monopoli dan mereduksi peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat.

“Kalau Baznas ingin menjadi regulator, maka tidak seharusnya juga menjadi operator. Tapi kalau tetap ingin menghimpun zakat, maka harus setara dengan masjid dan lembaga lain, bukan menjadi super body,” kata dia.

Ustadz Jazir mengungkapkan bahwa pengumpulan zakat, infak, dan sedekah di Masjid Jogokariyan mengalami penurunan signifikan. Jika pada tahun-tahun lalu mencapai sekitar Rp12 miliar, tahun kemarin hanya terkumpul Rp 9,7 miliar.

Dia menilai kondisi ini sebagai bentuk kerugian faktual yang muncul akibat ketentuan dalam UU Zakat Nomor 23 Tahun 2011. “Ini bukti nyata bahwa pemberlakuan undang-undang ini telah menghambat pelaksanaan syariat zakat secara kultural yang sudah berjalan sejak lama di masyarakat,” jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler