DPD: Negara Harus Hadir Lindungi Anak

Republika/Agung Supriyanto
Fahira Idris
Red: Taufik Rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris menyatakan negara harus selalu hadir melindungi anak-anak dari setiap ancaman kekerasan, agar berbagai kasus, termasuk pembunuhan bocah delapan tahun di Bali, Angeline, tidak terulang lagi.

"Beri kami harapan bahwa negara hadir melindungi anak-anak. Beri peringatan kepada orang-orang di luar sana bahwa tidak ada tempat untuk orang-orang biadab penyiksa dan pembunuh anak di negeri ini," katanya dalam keterangan yang diperoleh di Jakarta, Selasa.

Fahira yang juga Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri (Abadi) mengatakan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah melindungi setiap anak dari ancaman kekerasan dan pembunuhan.

Pasal 21 ayat (1) UU itu menyebutkan,"Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau anak".

Sedangkan ayat (2) menyebutkan,"Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak".

Sementara pada pasal 15 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c.pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yaang mengandung unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan; dan f. kejahatan seksual.
Sanksi atas pelaku pid /atau denda paling banyak tiga miliar rupiah.

Fahira prihatin bahwa walaupun sudah ada regulasi tentang perlindungan anak, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai cara meningkat tiap tahun, bahkan banyak pelaku kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang-orang terdekatnya.

Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DK Jakarta itu, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia karena sebagian besar masyarakat masih belum memandang kekerasan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.

Fahira mengaku sudah menyampaikan berkali-kali kepada DPR dan pemerintah untuk segera merevisi UU Perlindungan Anak, untuk mengubah hukuman maksimal 15 tahun menjadi hukuman mati bagi pelaku kekerasan anak yang sadis seperti kasus Angeline.

"Sekali lagi saya sampaikan, kita perlu 'bluperint' perlindungan anak untuk merevolusi mental masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak terutama fisik dan seksual adalah kejahatan luar biasa," katanya menegaskan.

Terkait pembunuhan atas Angeline, Fahira memohon kepada kepolisian, jaksa, dan hakim, untuk menjerat pelaku dengan pasal berlapis."Lengkap siksaan yang dialami bocah malang itu bahkan setelah tak bernyawa dia masih disiksa. Hati siapa yang tidak patah," katanya.

Menurut Fahira, perlu terapi kejut (shock therapy) untuk menyadarkan siapa pun di Indonesia bahwa kekerasan terhadap anak apalagi sampai menghilangkan nyawa adalah kejahatan luar biasa, sama seperti korupsi dan terorisme.

"Saya harap siapa pun pembunuh Angeline dihukum mati, didor saja," katanya.
Ia menambahkan bahwa peristiwa yang dialami Angeline, harus menjadi momentum untuk menyatakan perang terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap anak.


sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler