Berantas Korupsi dengan Kepemimpinan Hukum dan Mengikis Ego Sektoral

Republika/Raisan Al Farisi
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad membuka diskusi yang bertemakan Percepatan Pembangunan Daerah di Jakarta, Selasa (7/7). (Republika/Raisan Al Farisi
Red: Ilham

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Farouk Muhammad menilai pemberantasan korupsi yang harus dilakukan oleh lembaga penegak hukum harus terpadu. Lembaga anti rasuah harus meminimalisir ego sektoral, mengembangkan system, dan kepemimpian hukum yang berwibawa.

Pada acara Round Table Discussion (RTD) Kajian Aktual-2 dengan topik permasalahan “Meningkatkan Sinergitas Aparat Penegak Hukum Guna Efektivitas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Permasalahan yang Dihadapi dan Alternatif Solusinya” di Lemhanas, Farouk mengatakan, kepemimpinan hukum merupakan faktor penting dalam membangun budaya hukum sebagai prasyarat efektivitas penegak hukum.

“Secara moral dan fungsional Presiden, termasuk Wapres, harus menguasai masalah grand design penegakan hukum," katanya melalui rilis yang diterima ROL, Jumat (10/7).

Presiden, kata Farouk, harus mampu melakukan fungsi manajerial terhadap institusi penegak hukum yang berada di bawah kekuasaannya. Hal itu akan berdampak pada efektifnya upaya pemberantasan korupsi.

Farouk menjelaskan, permasalahan ketidakefektifan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi bukan terletak pada isu kewenangan dan bagaimana kemampuan mengungkap perbuatan melawan hukum secara transparan saja, tetapi juga kemampuan mengungkap setiap penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum itu sendiri.

“Saya memandang bahwa pengembangan sistem melalui perumusan kebijakan pada level di bawah undang-undang masih perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. Hal itu diperlukan dalam rangka mengoptimalkan koordinasi, komunikasi, konsultasi, kerja sama, dan sinkronisasi serta melahirkan sinergitas antar aparat penegak hukum,” tegas Farouk.

Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian ini menambahkan, persoalan besar atau sedikitnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada komponen atau institusi penegakan hukum bukan menjadi variabel dominan yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Faktor lain yang cukup mempengaruhi efektivitas penegakan hukum untuk pemberantasan tindak pidana korupsi adalah beban kerja aparat penegak.

“Gagasan untuk melakukan perubahan atas UU-KPK apalagi amandemen UUD NRI Tahun 1945 menurut pendapat saya belum cukup beralasan," katanya. Kekurangefektifan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, kata dia, tidak selalu bersumber pada ketentuan pasal-pasal dalam UU. "Tetapi lebih disebabkan oleh operasionalisasi mesin SPP ditangan para aktornya.”

Lulusan Florida University ini memaparkan, strategi represif semestinya tidak selalu harus melalui proses hukum. Namun dapat dilakukan alternative pendekatan dengan memberi efek jera, yaitu dengan efektivitas penghukuman ditentukan oleh kepastian (certainty), ketanggapsegeraan (celerity), dan pembebanan (severity).

“lebih baik memberi reaksi pada sebanyak mungkin perbuatan yang diduga merupakan pelanggaran hukum, walau dengan sentuhan ringan, daripada menghukum berat sedikit orang yang dituduh melakukan pelanggaran hukum, kecuali terhadap perbuatan yang dianggap berat,” kata Farouk.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler