Mahkamah Internasional Jadi Alternatif Terakhir Solusi Konflik Antarnegara
REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Polemik Indonesia dan Cina terkait penangkapan kapal nelayan di Laut natuna beberapa waktu lalu harus mendapat perhatian serius pemerintah. Sebab, kapal milik nelayan Cina itu telah memasuki wilayah indonesia secara ilegal dan melakukan pencurian ikan di laut Natuna.
Semestinya, berdasar hukum Indonesia, kapal tersebut harus dibawa ke Indonesia, untuk diadli. Jika terbukti bersalah, maka pemerintah harus melakukan penenggelaman sebagaimana hukuman terhadap kapal-kapal pencuri ikan yang sudah dieksekusi selama ini.
Pernyataan itu disampaikan Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI TB. Soenmandjaja disela-sela kesibukannya menjadi dewan juri pada Kompetisi Constitusional Drafting, diajang Padjajaran Law Fair (PLF) VIII. Acara tersebut berlangsung di kampus Padjadjaran, pada Sabtu (16/4). Tema yang digagas pada PLV 2016, ini adalah Internasionalisasi Hukum Tata Negara.
Pemerintah Indonesia menurut Soenmandjaja tak perlu ragu membawa perkara tersebut ke mahakah internasional, karena pencurian itu benar-benar terjadi diwilayah hukum Indonesia.
"Mesti begitu ada baiknya Indonesia juga menempuh jalur diplomatik diantara hubungan bilateral kedua negara. Kalau tetap gagal, maka pengaduan ke mahkamah Internasional menjadi alternatif yang bisa dipilih", kata Soenmandjaja.
Pertengahan Maret silam KM Kway Fey 10078 milik Cina memasuki wilayah indonesia tanpa izin. Diduga kapal tersebut tengah melakukan pencurian ikan. Saat hendak ditangkap oleh Kapal pengawas Hiu 11, muncul kapal penjaga pantai Cina yang menabrak Kway Fey. Karena tragedi itu Hiu 11 urung menangkap Kway Fey dan hanya mengamankan awak kapal saja.