Kotagede Jadi Lokasi 'Belajar' RUU Kebudayaan

DPD
Komite III mengunjungi Kotagede untuk 'belajar' RUU Kebudayaan.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Komite III DPD RI mengunjungi Yogyakarta untuk menginventarisasi data dan aspirasi masyarakat dalam rangka penyusunan pandangan dan pendapat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan. RUU ini diinisiasi oleh DPR. DPD diminta untuk memberikan pandangan dan pertimbangan.

“Rumah ini sepi karena baru dibeli Pemerintah Provinsi. Rumah ini dibeli dalam rangka konservasi. Harganya Rp 1,3 miliar. Banyak selebritis yang tertarik ingin membeli dengan harga yang lebih tinggi, tapi pemilik ingin Pemerintah Daerah yang memiliki. Karena, kalau pemda yang membeli berarti akan memenuhi 3 aspek konservasi yaitu perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan”, kata Umar Priyono, Kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Di Yogyakarta, bangunan yang dikonservasi diusahakan untuk tetap berguna dan berhubungan dengan masyarakat. Dia mencontohkan Rumah sate di jalan gamelan. Tempat itu merupakan tempat di mana Ngarso Dalem dan Jenderal Sudirman bertemu dan bertukar informasi. Kotagede adalah pusat Kerajaan Mataram. Tim Komite III berharap bisa menggali sejarah dan filosofi, pergerakan sosial masyarakat, arsitektur dan lingkungan, kesenian, kerajinan sampai kuliner.

"Aslinya warung sate, tapi diskusi dan dialog terjadi antar para pejuang, dan juga pertukaran senjata. Dan setelah dibeli Pemda, tempat ini lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat, seniman, pemuda dan pemerintah kota untuk berbagai macam kegiatan," katanya.

Menurut Fahira Idris, RUU Kebudayaan harus mendapat perhatian dan diskusi yang berterusan. Banyak hal yang masih perlu didiskusikan seperti apakah ebudayaan dapat diatur dengan sebuah undang-undang? Apakah Kebudayaan dapat dikonservasi? Bagaimana kalau nantinya undang-undang hanya akan membuat beku kebudayaan itu sendiri. Pertanyaan itulah yang masih terus didiskusikan oleh Komite III.

“Budaya bukanlah benda mati. Tidak statis. Budaya tumbuh dan berkembang. Saling melengkapi dan menyempurnakan. Apalagi kalau ada sensor kebudayaan nantinya hanya akan memperburuk kondisi kebudayaan kita,” kata Fahira.

Anggota DPD Bali, Arya Wedakarna mengatakan adaa perbedaan antara Jogja dan Bali dalam hal konservasi. “Yang kami lakukan di Bali tidak hanya melestarikan bangunan, prasasti atau candi. Tetapi bagaimana orang-orang dibali juga hidup dengan budaya dan tradisi kami sendiri. Tanpa RUU sebenarnya budaya sudah menjadi kehidupan kami sehari-hari," katanya.

Ada  7 orang anggota DPD yang hadir yakni Fahira Idris (DKI), Daryati Uteng (Jambi), Eni Khairani (Bengkulu), I Gusti Ngurah Arya Wedakarna (Bali), Muslihuddin Abdurrasyid (Kaltim), Muhammad Syibli Sahabuddin (Sulbar) dan Suriati Armaiyn (Malut).


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler