Simposium Nasional MPR Diharapkan Beri Solusi Kesenjangan

Republika/ Yasin Habibi
Ketua MPR Zulkifli Hasan memberi sambutan saat pembukaan Simposium Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).
Rep: Eko Supriyadi Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, menggelar Simposium Nasional dengan tema Sistem Perekonomian Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Sesuai UU Dasar Negara Republik Indonesia. Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menilai, kegiatan simposium ini merupakan langkah tepat, sesuai kondisi bangsa yang menghadapi permasalahan kesenjangan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.

''Saya berharap hasil simposium jadi masukan MPR dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya sesuai UU MD3,'' ucap Zulkifli, dalam sambutannya, di Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).

Bicara sistem perekonomian naisonal, lanjutnya, secara yuridis diatur tagas dalam pasal 33 UUD 1945, yang merupakan wujud dari sila ke-5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, ia menyatakan selama ini masyarakat masih saja meributkan siapa yang Pancasilais dan siapa yang tidak Pancasilais, terutama saat masa Pilkada serentak 2017.

Seharusnya, Zulkifli menuturkan, sudah saatnya mengimplementasikan Pancasila. Apalagi, sudah terjadi inkonsistensi dari pelaksanaan Pancasila. ''Pancasila yang harusnya melahirkan kesejahteraan bersama. Bahkan disebutkan tahun ini digunakan untuk mengurangi kesenjangan,'' kata Zulkifli.

Salah satu persoalan lain adalah ketimpangan. Ia mencontohkan ketimpangan lahan. Kalau di Sulawesi, saat memasuki masa panen atau harga komoditi naik masyarakat senang. Sementara di Kalimantan yang lahannya jauh lebih luas, mengalami kondisi sebaliknya. Masyarakat tidak senang karena sebagian besar hanya buruh perkebunan.

Sebab kebun -kebun yang ada hanya dikelola oleh perkebunan besar atau bahkan perorangan. Selain itu, Zulkifli juga mencontohkan kondisi serupa terjadi di Bangka Belitung, yang terkenal dengan produk kopi dan karet.

Namun, saat ini daerah tersebut sudah menjadi kawasan pertambangan. ''Sekarang ini dengan hanya selembar kertas, lahan itu bisa menjadi milik perusahaan atau perorangan. Dengan izin bupati, maka tambang itu milik perorangan atau perusahaan. Masyarakat itu kemudian jadi kuli,'' ucap Zulkifli.


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler