MPR Diminta Selesaikan Masalah Pemisahan Kekuasaan

Sistem presidential efektif bila didukung sistem kepartaian yang sederhana.

mpr
Lembaga Pengkajian MPR menggelar Rapat Pleno ke-48, Selasa (16/10).
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian MPR menggelar Rapat Pleno ke-48, Selasa (16/10). Lemkaji mengundang Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk memberi pemaparan materi mengenai ‘Pemerintahan Negara’.

Bambang bersyukur pemerintahan saat ini merangkul sebagian besar partai politik di parlemen. Merangkul partai-partai yang ada disebut untuk mengurangi kegaduhan di parlemen maupun di dunia politik.

“Kita sering gaduh karena sistem kita saling kunci," kata dia.



Bambang menjelaskan DPR tak bisa membuat undang-undang tanpa pemerintah. Pun demikian dalam soal anggaran yang tak tuntas-tuntas bila pemerintah tak hadir dalam pembahasan. “Akibatnya kita pernah didekte oleh pemerintah soal anggaran," ujarnya.

Masalah yang demikian disebut Bambang Soesatyo sebagai pekerjaan rumah bagi Lembaga Pengkajian untuk mencari solusinya. Dikatanya saat ini ada lembaga yang kekuasaannya bisa melebihi kekuasaan pemerintah dan DPR.

“Kadang 560 anggota DPR dikalahkan oleh MK yang jumlah anggotanya 9 orang," kata dia,

Bambang mengatakan DPR mempunyai 3 fungsi yakni legislatif, anggaran, dan pengawasan. Hubungan DPR dan Pemerintah dalam undang-undang disebutkan seperti membahas dan menyetujui undang-undang, menyetujui banyak hal seperti Perppu, perdamaian dan perjanjian internasional, pengangkatan duta besar, dan menerima duta besar dari negara lain. DPR disebut juga mempunyai peran lain terkait KY, MA, dan lembaga negara lainnya.

“Bersama dengan Pemerintah, kita membuat kebijakan umum yang sifatnya mengikat, yakni membuat undang-undan. Jadi kalau Pemerintah menjalankan undang-undang maka kita mendukungnya," kata dia.

Menanggapi problem kekuasaan yang demikian, anggota Lemkaji, Valina Singka, mengatakan sistem presidential efektif bila didukung sistem kepartaian yang sederhana. “Seperti di Amerika Serikat ada dua partai, Demokrat dan Republik”, tuturnya.

Diakui di sana ada partai-partai yang lain namun partai-partai kecil itu akhirnya menghimpun diri pada dua partai besar tadi. Dia khawatir bila Presiden bukan berasal dari partai mayoritas di parlement. Untuk itu diperlukan koalisi mendukung Presiden.

Alumni Universitas Indonesia itu mengakui sejak Pemilu Presiden 2004, 2009, dan 2014, terjadi koalisi partai namun sayangnya koalisi yang dibangun tak efektif. Ini bisa terjadi karena anggota koalisi bergerak bebas sesuai dengan kondisi politik yang terjadi. “Ini terjadi karena koalisi yang dibangun bukan berdasarkan nilai tetapi karena kepentingan," kata dia.

Bukhori Yusuf, anggota Lemkaji lainnya, mengatakan tak ada satu sistem pemerintahan di sebuah negara yang sempurna. “Üntuk itu tak relevan bila kita meniru seratus persen sistem negara lain," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler