Perlu Payung Hukum Bagi BPJS Untuk Biayai Pasien Covid-19

Melihat keadaan saat ini, Perpu sudah dapat dipertimbangkan.

istimewa
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA meminta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah segera menyiapkan payung hukum terkait pembiayaan pasien covid 19 oleh BPJS. Hal itu lebih penting daripada membuat gaduh seputar wacana rapid test virus Covid-19 bagi anggota DPR RI dan keluarga.
Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA meminta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah segera menyiapkan payung hukum terkait pembiayaan pasien covid 19 oleh BPJS. Hal itu lebih penting daripada membuat gaduh seputar wacana rapid test virus Covid-19 bagi  anggota DPR RI dan keluarga. 


Hidayat yang akrab disapa HNW menilai  payung hukum yang juga diminta Direktur BPJS, Prof Dr Fahmi Idris ini dibutuhkan agar tidak menimbulkan masalah saat pelaksanaan di kemudian hari, serta memberi kepastian hukum di lapangan. Salah satu yang krusial untuk dibahas adalah seputar peran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban yang terdampak covid 19.

Ketentuan yang menjadi kendala adalah Pasal 52 ayat (1) huruf O Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan kejadian  luar biasa atau wabah sebagai suatu kondisi yang dijamin dalam pelayanan kesehatan BPJS. “Itu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan masalah dan  keraguan di lapangan,” ujarnya, Selasa (24/3). 

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai walau revisi Perpres merupakan kewenangan dan bisa dilakukan pemerintah,  tetapi konsultasi dengan DPR juga perlu dilakukan karena implikasinya kepada anggaran. “Revisi bisa dilakukan secara terbatas khusus berkaitan dengan pasal tersebut atau ketentuan lainnya yang berkaitan,” ujarnya. 

Selain itu, lanjut HNW, rapat antara DPR dan Pemerintah juga perlu dilakukan untuk membahas perlunya Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) karena keadaan sudah dapat dinilai genting dan memaksa. Instrumen hukum ini juga bisa digunakan untuk menegakan agar imbauan sosial/physical distancing atau working from home dapat ditransformasi menjadi norma hukum yang benar-benar mengikat. 

“Melihat keadaan saat ini, Perpu sudah dapat dipertimbangkan. Walaupun itu memang kewenangan Presiden, tetapi perlu juga dikonsultasikan di DPR, karena nanti Perpu nanti akan berujung kepada persetujuan DPR apakah diterima atau ditolak,” tukasnya.  

Anggota Komisi VIII DPR RI ini juga berharap rapat dengan pemerintah bisa segera dilakukan, walau saat ini DPR sedang dalam masa reses, dan baru akan memasuki masa sidang pada 30 Maret 2020 mendatang. “Di saat genting saat ini, mekanisme pengawasan oleh DPR harus juga tetap berjalan agar langkah yang diambil pemerintah benar-benar sesuai aturan hukum sehingga efektif dalam menangani wabah ini dengan baik,” ujarnya. 

Ia memahami saat ini masih ada imbauan social/physical distancing atau working from home, sehingga metode rapat bisa dilakukan secara jarak jauh. “Rapat bisa dilakukan dengan teleconference. Itu lebih baik daripada wacana Rapid Test Covid 19 untuk seluruh Anggota DPR RI dan keluarganya yang membuat gaduh di masyarakat, dan juga sudah ditolak Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler