Pengamalan Empat Pilar Menjawab Tantangan Zaman
Saat ini tantangan berbangsa dan bernegara datang dari dalam dan luar negeri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai-nilai empat konsensus Kebangsaan atau empat pilar MPR RI yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi pedoman untuk menjawab tantangan berbangsa kini dan di masa datang.
Penegasan tentang peran empat konsenus Kebangsaan itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam acara Sosialisasi Empat Pilar Wakil Ketua MPR RI di Yogyakarta dan Kendal, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
"Pemahaman kita terhadap empat konsensus Kebangsaan bisa menjadi kekuatan untuk menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Lestari secara daring disaksikan H. Subardi, S.H., M.H (Anggota DPR RI Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta), para anggota Laskar Jogja, para anggota Yayasan Natas Nitis Netes, dan jajaran pimpinan DPW Partai NasDem Yogyakarta di Taman Wisata Candi Prambanan, Yogyakarta.
Menurut Rerie, sapaan Lestari, saat ini tantangan berbangsa dan bernegara datang dari dalam dan luar negeri. Antara lain dalam bentuk lunturnya nasionalisme, semakin sempitnya pemahaman Pancasila dan agama, serta krisis perekonomian yang mengancam.
Lebih dari itu, tegasnya, masuknya ideologi asing yang mengikis nilai-nilai kebangsaan yang dimiliki anak negeri, intoleransi dan menurunnya kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan tantangan besar yang juga harus dihadapi.
"Di dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa terdapat nilai-nilai yang mengandung visi dan karakter bangsa," tegas Legislator Partai NasDem itu.
Tanpa visi, tegas Rerie, kita sebagai bangsa tidak punya arah yang jelas dalam membangun dan mengelola Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Tantangan berbentuk ancaman terhadap bangsa dan negara, menurut Rerie, bisa dihadapi dengan peningkatan pemahaman visi dan karakter bangsa yang menjunjung tinggi persatuan, integritas dan nasionalisme yang tinggi.
Rerie menilai, bergabungnya Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 5 September 1945, merupakan pengamalan nilai-nilai Persatuan dan komitmen yang kuat terhadap NKRI.
"NKRI harga mati. Kesepakatan di masa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang diikrarkan dan dipegang teguh oleh para pemuda jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, diamalkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang meleburkan wilayah kedaulatan kerajaannya ke dalam NKRI," pungkas Rerie.
Padahal, jelas Rerie, berdasarkan Perjanjian Gianti, Ngayogyakarta Hadiningrat diakui kedaulatannya oleh Hindia Belanda sebagai negara. Tetapi para pemimpin Ngayogyakarta ketika itu, tegasnya, lebih memilih bersatu mewujudkan NKRI.
Pada kesempatan sosialisasi yang disaksikan para tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rerie mengajak, para tenaga kesejahteraan sosial untuk mewariskan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung pada empat konsensus Kebangsaan dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Para TKSK, menurut Rerie, dapat membantu Pemerintah dalam pencegahan penyebaran Covid-19 dengan memberi pengertian dan mengajak masyarakat agar bersedia dites.
"Mengajak masyarakat untuk melakukan tes terkait Covid-19 merupakan bagian dari upaya menjaga masyarakat dari terpapar virus korona," ujarnya.
Dengan membantu melakukan langkah preventif dalam pengendalian Covid-19, tegas Rerie, sama saja dengan melaksanakan nilai-nilai empat konsensus Kebangsaan yang mengandung nilai Persatuan, gotong-royong untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.