Pemerintah Harus Memiliki Sense of Crisis Menghadapi Resesi

Tanda-tanda pemulihan ekonomi perlahan mulai tampak pada kuartal III/2020.

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Warga tertidur di pinggir jalan kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (4/11/). Pada Kamis (5/11), BPS resmi mengumumkan ekonomi Indonesia kuartal III tumbuh minus 3,49 persen. Dua kali berturut-turut berada di level minus pertumbuhan ekonominya, Indonesia dipastikan alami resesi.
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pemangku kepentingan, terutama di pemerintahan, harus memiliki sense of crisis menghadapi kondisi ekonomi dan kesehatan nasional dalam membuat kebijakan.

"Resesi ekonomi yang dihadapi saat ini jangan membuat kita patah semangat tapi harus tetap optimistis dapat mengatasi persoalan tersebut," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/11).

Apalagi, jelas Lestari, tanda-tanda pemulihan ekonomi perlahan mulai tampak pada kuartal III/2020. Rerie, sapaan akrab Lestari, mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi kuartal III tercatat minus 3,4 persen, lebih baik daripada kuartal II yang tercatat minus 5,3 persen.

Namun, tegas Legislator Partai NasDem itu, optimisme saja tidak cukup dalam menghadapi krisis ini.
"Perlu kerja keras dan kedisiplinan yang tinggi dalam menyikapi krisis kesehatan dan ekonomi saat ini. Pemerintah harus memiliki sense of crisis dalam setiap kebijakan yang diambil," ujar Rerie.

Dari tiga faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi yakni ekspor, investasi dan belanja pemerintah, menurut Rerie, yang berpotensi mendorong pertumbuhan saat ini adalah belanja pemerintah.

Menyikapi kondisi itu, Rerie menegaskan, Pemerintah harus kreatif menyusun aneka program penyerapan anggaran sehingga menstimulasi pertumbuhan ekonomi.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler