HNW Ingatkan Peran PDRI Dalam Perjuangan Indonesia Merdeka

Para santri harus berani melanjutkan peran ulama dalam membela kemerdekaan Indonesia

istimewa
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengingatkan kembali peran santri, membela dan mempertahankan Negara Indonesia Merdeka. Terutama peran yang menjadi dasar lahirnya hari Bela Negara.
Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengingatkan kembali peran santri, membela dan mempertahankan Negara Indonesia Merdeka. Terutama peran  yang menjadi dasar  lahirnya hari Bela Negara.  Hari Bela Negara yang diperingati  19 Desember kata Hidayat, merupakan keputusan yang diambil era Presiden SBY. Hari Bela Negara diperingati sebagai pengingat atas pembelaan dan penyelamatan eksistensi Negara Indonesia Merdeka, melalui deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19/12/1948. 


Saat itu Belanda berhasil menguasai Ibukota Negara di Yogyakarta,  dan  sejumlah pimpinan nasional, seperti Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Lalu, Kolonialis Belanda pun menyebar propaganda bahwa Indonesia sudah kembali ke bawah penguasaan Belanda. 

“Saat itu, tampillah Mr Sjafruddin Prawiranegara yang membela dan menyelamatkan Negara Indonesia Merdeka, dengan mendeklarasikan dan memimpin PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia),” ujar Hidayat  secara daring dalam sosialisasi Empat  Pilar MPR RI kerjasama dengan Para Santri dan Kiyai di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Minggu (20/12). 

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan peran heroik dan monumental Mr Sjafruddin,  merupakan dasar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menetapkan Hari Bela Negara berdasarkan Keppres No. 18 Tahun 2006. 

“Itu apresiasi negara atas jasa kalangan Santri yang kembali sukses  menyelamatkan dan membela Indonesia dari makar penjajah Belanda. Peran yang sebelumnya juga dilakukan oleh Pimpinan NU dan Muhammadiyah saat selamatkan Proklamasi serta Pancasila dengan menyetujui perubahan sila 1 Pancasila pada 18/8/1945, juga peran Pendiri NU (KH Hasyim Asyari dengan Resolusi Jihadnya 22/10/1945) dan Muhammadiyah (Ki Bagus Hadikusumo dengan Amanat Jihadnya,28/4/1946). Yang sesudahnya juga dilakukan oleh M Natsir (Ketua Fraksi Partai Islam Masyumi di DPR RIS  dan Waketum Persis, melalui Mosi Integral 3/4/1950, selamatkan Indonesia dari RIS kembali menjadi NKRI,” jelasnya.

Lebih lanjut, kata HNW peristiwa-peristiwa itu perlu diingatkan kembali agar para santri dan pesantren tak mempunyai penghalang psikologis maupun hambatan theologis untuk lanjutkan peran mensejarah itu, dengan tampil ke depan menjadi generasi Unggul yang berani bekerjasama dengan seluruh elemen bangsa demi Bangsa dan Negara, serta efektif membela negara dalam menghadapi masalah-masalah, kekinian maupun ke depan. Dengan peran monumental seperti itu diharapkan juga untuk koreksi islamophobia, yang menhadirkan saling curiga dan adu domba dengan sesama anak bangsa. 

“Kita perlu menyegarkan ingatan kolektif soal peran Santri seperti ini. Agar,  para santri dan dunia pesantren tidak asing atau diasingkan, supaya berani mengambil posisi melanjutkan peran ulama terdahulu yang berjasa membela serta mengawalnya agar Negara Indonesia dan pimpinan serta kebijakannya tetap merdeka. Tidak dibelokkan sehingga malah bertentangan dengan cita-cita Indonesia Merdeka,  sebagaimana disepakati oleh Bapak/Ibu Bangsa, yang di dalamnya ada Santri Ulama Pimpinan Ormas dan  Orpol Islam,”tukasnya. 

HNW  menyayangkan, akhir-akhir ini  latarbelakang dan konteks lahirnya Hari Bela Negara itu tidak diresapi oleh para pihak. “Jarang sekali yang mengkaitkan hari Bela Negara  dengan jasa Mr Sjafrudd (seorang santri, dari Partai Islam Masyumi). Padahal diyakini oleh banyak peneliti, tanpa PDRI tidak ada NKRI. Justru, lagi-lagi persekusi terhadap sebagian ulama, dan fitnah/ketidakadilan terhadap sebagian komunitas Santri yang sering kita saksikan belakangan ini,” tambahnya. 

Anggota Legislatif Dapil Jakarta II ini menuturkan, bahwa santri dan pesantren memiliki potensi yang sangat besar. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), jumlah santri saat ini mencapai 40 jutaan orang. Dengan potensi yang sangat besar tersebut, seharusnya Negara dapat merangkul mereka dengan menjalin komunikasi dan kooperasi yang konstruktif. Diantaranya melalui sosialisasi tentang Pancasila, UUD, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagaimana dilakukan oleh MPR RI dengan kegiatan Sosialisasi 4 MPR RI, agar mereka bisa jadi mitra melanjutkan peran mensejarah dalam menghadirkan upaya membela negara dan menyelamatkan Negara dari berbagai ancaman dan tantangan. 

“Dalam konteks saat ini, ancaman yang nyata adalah dekadensi moral, ketidakadilan, adu domba, narkoba, komunisme, terorisme, separatisme, liberisme, korupsi, dan darurat kesehatan bahaya pandemi Covid-19. Para santri dan pesantren penting dipedulikan  dan  dibantu mengatasi covid 19, dan dilibatkan untuk berperan serta lakukan pembelaan dan pengawalan negara dalam mengatasi berbagai ancaman termasuk pandemi Covid-19. Ini sekaligus meneruskan peran santri terdahulu dengan konteks yang berbeda, tetapi tujuan yang sama, menyelamatkan dan membela eksistensi NKRI sebagai Negara Merdeka; bersatu berdaulat, adil dan makmur,” katanya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler