Rabu 15 Mar 2017 11:11 WIB
Pulangnya Bung Hatta

Mohammad Hatta Berusaha Menjalankan Ajaran Islam Secara Kafah

.

 Tempat Pemakaman Bung Hatta di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Foto: dok. Republika
Tempat Pemakaman Bung Hatta di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu (@kartaraharjaucu), Wartawan Republika

Sebagai seorang pemeluk agama Islam, Mohammad Hatta bisa dibilang masuk golongan Muslim taat. Berdasarkan kesaksian sekretaris pribadinya, I Wangsa Widjaya, Hatta tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan puasa meski sedang dalam perjalanan dinas. Bahkan saking jujurnya, Hatta disebut Wangsa, enggan menggunakan fasilitas negara saat menunaikan ibadah haji bersama istri dan saudarinya.

Kejujuran dan komitmen Hatta sebagai pemimpin yang membela rakyat kecil, menurut Wangsa Widjaya yang selama puluhan tahun menjadi sekretaris wakil presiden pertama RI itu patut diacungi jempol. Dalam buku Mengenang Bung Hatta, Wangsa Widjaya mengatakan, komitmen Hatta membela rakyat kecil karena ia seorang Muslim yang taat.

Wangsa mengungkapkan, biasanya Hatta shalat Jumat di Masjid Matraman yang tidak jauh dari kediamannya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. "Bahkan, dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri, Bung Hatta tidak pernah meninggalkan shalat," kata Wangsa dalam buku tersebut.

Begitu taatnya dalam menjalankan perintah agama, selama menjadi wakil presiden, Hatta mengharamkan dirinya menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, seperti mengumpulkan kekayaan atau memberikan fasilitas kepada keluarga atau kerabatnya.

Saking jujurnya, Hatta menolak tawaran Sukarno yang menawarkannya menggunakan pesawat terbang yang dibiayai negara untuk pergi ke Tanah Suci. Hatta saat itu beralasan ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden. Yang semakin membuat kagum, Hatta membiayai perjalanan hajinya dari hasil honorarium penerbitan beberapa bukunya, bukan uang negara.

Cerita lain dari kejujuran Hatta adalah saat ia menerima amplop sebagai uang perjalanan dinas. Masih dalam buku yang sama, Wangsa menulis, Hatta selalu mengembalikan kelebihan uang negara yang diberikan sebagai anggarannya.

Ada kisah menarik ketika pada 1970 —setelah ia tidak lagi menjadi wapres— saat ia diundang berkunjung ke Irian Jaya (Papua), untuk sekaligus meninjau tempat ia pernah dibuang pada masa kolonial Belanda. Bung Hatta dengan tegas menolak ketika disodori amplop sebagai uang saku setelah ia dan rombongan tiba di Papua.

Ketika amplop itu disodorkan kepadanya, ia dengan spontan bertanya, "Surat apa ini?"

Dijawab oleh Sumarno yang mengatur kunjungannya, "Bukan surat, Bung. Uang… uang saku untuk perjalanan Bung Hatta di sini."

Dengan wajah tidak suka, Hatta berkata, "Uang apa lagi? Bukankah semua ongkos perjalanan saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah harus bersyukur. Saya benar-benar tidak mengerti uang apa lagi ini?"

"Lho, Bung… ini uang dari pemerintah, termasuk dalam biaya perjalanan Bung Hatta dan rombongan," kata Sumarno coba meyakinkan Bung Hatta.

"Tidak, itu uang rakyat. Saya tidak mau terima. Kembalikan," kata Bung Hatta menolak amplop yang disodorkan kepadanya.

Rupanya Sumarno ingin meyakinkan Bung Hatta bahwa dia dan semua rombongan ke Irian dianggap sebagai pejabat dan menurut kebiasaan diberikan anggaran perjalanan, termasuk uang saku. Tidak mungkin dikembalikan lagi.

Setelah terdiam sebentar Bung Hatta berkata, "Maaf, Saudara. Saya tidak mau menerima uang itu. Sekali lagi saya tegaskan, bagaimanapun itu uang rakyat, harus dikembalikan pada rakyat."

Kemudian ketika mengunjungi Tanah Merah tempat ia diasingkan, setelah memberikan wejangan kepada masyarakat Digbul, ia memanggil Sumarno. "Amplop yang berisi uang tempo hari apa masih Saudara simpan?" tanya Bung Hatta.

Dijawab, "Masih Bung."

Lalu, oleh Bung Hatta amplop dan seluruh isinya diserahkan kepada pemuka masyarakat di Digul. "Ini uang berasal dari rakyat dan telah kembali ke tangan rakyat," kata Bung Hatta.

Dalam tulisan sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab, selain belajar tentang arti kejujuran, perjalanan hidup Hatta tentang menjaga silaturahim juga patut diresapi. Hatta terkenal sebagai orang yang baik dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk dengan lawan politiknya.

Ketika Alimin, tokoh tua PKI, menderita sakit keras di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Bung Hatta meluangkan waktu untuk menjenguknya. "Oh, Bung Hatta datang," sapa Alimin lemah.

Keluarganya mengatakan, "Alimin sudah kembali pada ajaran Islam yang dipeluknya sebelum memeluk ideologi komunis!’’

PKI sangat membenci Bung Hatta. Pada 1960-an, patung Bung Hatta di GKBI sebagai Bapak Koperasi telah dicopot CGMI —organisasi mahasiswa PKI.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement