REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal, Wahyu Suryana
Penyusunan Indonesia merdeka sudah seyogianya dilakukan dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Juli 1944, Pulau Saipan yang sangat strategis bagi pertahanan Jepang jatuh ke tangan Amerika Serikat. Peristiwa ini berdampak besar terhadap penjajahan Jepang di Tanah Air. Sebab, Negeri Matahari Terbit jelas tidak mungkin mengadakan peperangan sekaligus dengan sekutu di bawah pimpinan Negeri Paman Sam maupun penduduk pribumi.
Karena itu, pada 7 September 1944, Tokyo mengumumkan janji kemedekaan Indonesia bakal segera diwujudkan. Namun, janji itu tak serta-merta lekas diwujudkan Jepang. Alasan demi alasan selalu disampaikan sebagai bagian dari taktik mengulur waktu.
Memasuki 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang di kancah global semakin terlihat. Dimulai dari kehilangan Filipina (Februari 1945). "Setiap jengkal kekalahan Jepang menjadi pupuk yang menunaskan kembang baru menuju kemerdekaan," ujar Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Situasi yang semakin kritis membuat pemerintah pendudukan Jepang di bawah pimpinan Panglima Tentara ke-16 Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Tujuan pembentukan BPUPKI adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan krusial perihal ekonomi, politik, dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, penyusunan keanggotaan badan tersebut berlangsung lama. Sebab, terjadi tawar-menawar antara pihak Jepang dan Indonesia.
Akan tetapi, BPUPKI beserta anggota berhasil dilantik pada 28 Mei 1945 atau bertepatan dengan hari kelahiran kaisar Jepang, yaitu Kaisar Hirohito. Total anggota BPUPKI tercatat sebanyak 67 orang dengan ketua Radjiman Widiodiningrat dan R Suroso serta seorang Jepang sebagai wakil, yaitu Ichi Bangase.
Sukarno ketika itu juga dicalonkan menjadi ketua. Namun, dia menolak lantaran ingin memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam perdebatan. Sebab, lazimnya peran ketua hanya sebagai moderator atau pihak yang menengahi.
Pada 28 Mei 1945 pula sidang pertama BPUPKI pun dimulai. Sidang digelar di gedung bekas Dewan Rakyat. Para pemuka bangsa dari seluruh kepulauan di Indonesia hadir. Masing-masing mengemukakan rencana dan saran perihal kemerdekaan Indonesia. Sukarno mengaku resah melihat pandangan para tokoh tersebut.
"Tidak kulihat adanya koordinasi antara satu dengan yang lain. Orang-orang berfilsafat dangkal dari Jawa, saudagar-saudagar dari Sumatra, orang-orang dusun dari pulau-pulau lainnya tidak memperoleh kata sepakat," ujarnya. Menurut dia, selama istirahat dari jam satu sampai jam lima, masing-masing kelompok mengadakan pertemuan sendiri.
Mereka adalah kelompok Islam, nasional, federalis, dan penganut kesatuan. Mereka yang mutlak menuntut daerah meliputi bekas jajahan Hindia Belanda membentuk satu kelompok. Ada pula golongan moderat yang berpendapat Indonesia belum matang untuk merdeka dan berdiri sendiri.
"Mereka terlalu banyak mengira-ngira. Melihat semua ini kukira tak seorang pun dari kami yang akan mengenal kemerdekaan hingga masuk ke liang kubur," kata Sukarno.