Rabu 21 Jun 2017 21:42 WIB

Membatasi Masa Jabatan Legislatif

Pembatasan masa jabatan ini justru akan memberi makna positif karena ada penyegaran

Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Senior Republika

Hari-hari ini perhatian masyarakat sedang mengarah kepada aktivitas anggota dewan. DPR memang tengah sibuk. Ada dua agenda besar yang sedang dihadapi DPR.

Agenda pertama adalah hak angket DPR tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pro dan kontra mewarnai perdebatan ini. Sebagian besar fraksi di DPR menghendaki agar ada mekanisme atau lembaga yang bisa memeriksa atau mengawasi KPK, bahkan termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi pendukung utama pemerintah.

DPR berpandangan, dalam alam demokrasi, semestinya tak boleh ada satu pun lembaga yang tidak bisa diawasi. Saat ini, KPK memang praktis tidak pernah ada yang bisa menyentuh. Tidak kepolisian, tidak juga aparat kejaksaan.

Itu sebabnya DPR berkeras perlunya keberadaan lembaga lain yang bisa memeriksa atau mengawasi KPK. Semua tentu masih ingat, Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap bersih pun kemudian terbongkar kebobrokannya lantaran ketuanya saat itu, Akil Mochtar, terlibat jual-beli perkara pemilukada.

Banyak penyidik dari kepolisian dan kejaksaan yang bermasalah. Padahal, penyidik KPK juga berasal dari kejaksaan dan kepolisian. Setelah mereka berada di KPK, seolah para penyidik itu menjadi insan yang bersih karena tidak tersentuh oleh siapa pun. Inilah salah satu alasan yang diutarakan oleh para pendukung hak angket DPR.

Masalah lain yang sedang dibahas di DPR adalah penambahan kursi anggota dewan. Ada 15 kursi tambahan yang mereka usulkan. Dengan demikian anggota DPR yang sebelumnya berjumlah 560 kini menjadi 575 kursi. Saat ini sedang dibahas daerah pemilihan yang akan menjadi tempat penambahan anggota dewan ini.

Beda dengan hak angket KPK, pembahasan soal tambahan anggota dewan ini sekilas tak ada faedahnya bagi masyarakat. Masalah ini lebih bermuara pada kepentingan internal DPR. Hal ini terkait erat dengan peran anggota dewan selama ini bagi masyarakat kita. Di mata masyarakat, anggota DPR dianggap tak mewakili kepentinngan rakyat. Mereka lebih mengutamakan partai atau kepentingan lembaganya.

Tak hanya itu, keberadaan anggota DPR (juga DPRD) yang sudah beberapa kali menjabat pun tak jauh berbeda dengan yang baru dari segi kemanfaatannya bagi masyarakat. Makin lama duduk di kursi DPR, sudah semestinya bila makin memahami aspirasi masyarakat dan oleh karenanya berjuang sepenuh hati untuk selalu membawa kepentingan rakyat, minimal yang diwakilinya.

Pembatasan Masa Jabatan

Tentang keberadaan anggota dewan ini, rasanya perlu ada pembatasan masa kerja terhadap mereka. Banyak pertimbangan yang bisa dijadikan dalih untuk melakukan pembatasan ini.

Hal yang pertama tentu dari sisi kemanfaatan bagi masyarakat. Lantaran selama ini keberadaan anggota DPR kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka lebih sering berganti sosok di DPR tak akan banyak berpengaruh. Faktanya pula, selama ini anggota yang telah lama menduduki kursi DPR juga tak semakin dicintai rakyat atau mengutamakan kepentingan rakyat.

Sensitivitas anggota DPR yang telah lama menjabat untuk lebih peduli pada rakyat juga tak terlihat. Justru yang terjadi malah ironi. Tak sedikit anggota dewan lama yang makin memahami liku-liku menyiasati pemanfaatan anggaran untuk kepentingan dirinya dan partai. Bahasa populernya, semakin lama menjabat, akan terlihat  semakin pintar melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Pertimbangan kedua, pembatasan masa jabatan ini justru akan memberi makna positif karena ada penyegaran. Dengan pembatasan masa jabatan, maka akan ada semacam pemerataan kesempatan lebih luas bagi rakyat untuk menjadi anggota dewan. Walau sebenarnya pemerataan kesempatan menjadi anggota dewan ini amat terbatas. Namun, medan legislatif ini bisa pulau menjadi kawah demi lahirnya pemimpin bangsa ke depan.

Poin ketiga, dengan pembatasan masa jabatan anggota DPR (DPRD), maka arsitektur sistem politik nasional --utamanya di parlemen-- akan kian indah. Akan semakin berkurang pejabat publik di luar pegawai negeri sipil/militer yang terus-menerus menduduki posisinya. Pada sisi lain, hal ini juga kian mempersempit kemungkinan bagi mereka untuk mendapatkan ruang atau celah dalam melakukan korupsi.

Secara teoretis, orang yang terus-menerus menduduki posisinya akan lebih terbuka peluangnya untuk melakukan kecurangan. Ini karena mereka sudah hapal dan memahami liku-liku birokrasi untuk berkelit atau bersiasat.

Berikutnya, dengan pembatasan tersebut, maka akan mengokohkan prinsip rekrutmen pejabat publik dengan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam kehidupan demokrasi modern, pejabat publik yang penetapannya melalui jalan dipilih langsung oleh rakyat akan senantiasa dibatasi masa jabatannya.

Kita lihat saja dalam tingkatan paling rendah di pemerintahan kita. Kepala desa juga dipilih langsung oleh rakyat. Masa jabatannya adalah enam tahun. Sang kepala desa yang sama hanya boleh menjabat tiga kali di tempat yang sama. Pada zaman dulu, masa jabatan kepala desa selama 8 tahun dan hanya boleh dua kali mendudukui posisi tersebut.

Hal yang sama berlaku untuk jabatan gubernur dan wali kota/bupati. Dengan masa jabatan lima tahun, mereka hanya boleh dua kali menjabat pada posisi yang sama. Jabatan berikutnya, setelah dua periode kepala daerah, bisa ditempuh dengan menjadi wakil gubernur atau bupati/wali kota.

Setali tiga uang dengan presiden. Jabatan kepala pemerintahan tertinggi di negara kita ini juga berlaku selama lima tahun. Setelah itu, sang presiden tersebut dapat dipilih kembali untuk satu kali periode masa jabatan.

Masa Anggota Legislatif

Sampai saat ini, satu-satunya jabatan publik yang dipilih langsung rakyat dalam pemilu dan tidak dibatasi masa jabatannya adalah anggota DPR/DPR. Supaya lebih sejalan dengan irama demokrasi, akan lebih baik kalau masa jabatan DPR/DPRD dibatasi. Sudah barang tentu pembatasannya tidak sebagaimana masa jabatan yang dipikul oleh kepala desa, kepala daerah, maupun presisden. Hal ini karena para kepala pemerintahan itu hanya satu orang dan memiliki kekuasan yang jauh lebih luas dari anggota dewan.

Meski demikian, secara kolektif anggota dewan juga memiliki kewenanngan yang luas. Bahkan untuk urusan anggaran, legislatif pun memiliki kewenangan yang menentukan. Oleh karena itu, adanya pembatasan masa jabatan terhadap mereka tentu lebih masuk akal.

Saya mengangankan masa jabatan anggota legislatif maksimal empat periode di tingkat yang sama (tidak harus bertutur-turut), baik itu DPRD maupun DPR. Misalnya di tingkat DPRD II, jika ada anggota yang sudah menjabat empat periode atau setara dengan 20 tahun, maka dia tak bisa lagi maju sebagai calon anggota DPRD I. Dia masih bisa maju lagi menjadi anggota DPRD I atau DPR Pusat maksimal dua (2) periode. Tambahan ini bisa terjadi, misalnya, satu periode di DPRD I dan satu periode di DPR Pusat. Bisa juga dua periode lagi di DPRD I atau dua periode di DPR Pusat.

Hal yang sama berlaku bagi anggota DPRD I. Bila telah empat periode ada di DPRD I, anggota dewan tersebut hanya boleh menambah dua periode lagi di tingkatan legislatif yang berseda. Bisa saja tambaha dua periode itu semuanya di DPRD II atau DPR Pusat.

Tak beda pula dengan keanggotaan DPR Pusat. Apabila sudah selama empat periode menjabat DPR Pusat, yang bersangkutan harus rela turun derajat (ke DPRD I dan/atau DPRD II) jika memang masih berhasrat menjadi anggota legislatif lagi. Ada baiknya pula masa jabatan empat periode ini juga berlaku untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka yang telah menjabat empat periode pun sebaiknya hanya diberi dua kali lagi kesempatan untuk menjadi anggota DPR atau DPRD.

Denngan demikian, seorang anggota legislatif hanya boleh menjabat selama 20 tahun di level tertentu dan maksimal 30 tahun menjadi anggota dewan untuk semua level. Batasan ini masuk akal dan wajar belaka. Dengan 30 tahun menjadi anggota legislatif, jika saat menjabat usianya 30 tahun, maka mereka telah berusia 60 tahun. Sangat wajar kalau seorang yang bekerja terus-menerus kemudian lengser keprabon (mundur dari singgasana) di usia 60 tahhun.

Kalau anggota legislatif hanya yang itu-itu saja, masyarakat sejatinya juga memendam rasa bosan. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak lantaran aturannya memang memungkinkan untuk itu. Karena itu, ada baiknya pembatasan masa jabatan anggota dewan ini menjadi pertimbangan untuk mengubah ketentuan atau Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD.

Jika pembatasan masa jabatan legislatif ini terwujud, bisa jadi aturan ini merupakan yang pertama kali dalam sejarah demokrasi di dunia. Tata kelola dan panorama demokrasi pun akan tampak lebih indah dilihat dan dinikmati.

Saya juga yakin pembatasan ini akan jauh lebih banyak dan besar manfaatnya untuk membangun pilar yang kokoh dalam demokrasi. Kerugian atau keburukan dari pembatasan masa jabatan legislatif ini mungkin saja ada, akan tetapi saya percaya hal ini akan lebih sedikit jumlah atau nilainya.

Suara pro dan kontra pasti akan ada. Akan tetapi, saya sungguh berharap Indonesia bisa menorehkan tinta indah dalam sejarah demokrasi dunia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement