REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari*
”Freedom Is Source from which all significations and all values spring. It is the original condition of all justification of existence” .
(Simone De Beauvoir)
Adakah yang lebih menarik dari perjuangan yang dilakukan tepat 70 tahun yang lalu, yakni pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak Komisi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights/UNCHR) resmi mendeklarasikan Declaration Universal of Human Right (DUHAM) yang lazim disebut piagam Hak Azasi Manusia (HAM), kemudian disepakati sebagai instrumen hukum HAM yang berlaku secara internasional.
Wacana tentang pengakuan terhadap seperangkat hak dasar manusia yang paling azasi, kemudian diimani masyarakat dunia, tanpa membedakan ras dan agama. Pasal-pasal dalam DUHAM tersebut kemudian berkonvergensi pada nilai-nilai tatanan sosial masyarakat dunia, meskipun melalui proses yang cukup sulit.
Perjuangan sulit untuk mendeklarasikan piagam HAM tersebut, ditandai penolakan dari beberapa negara, terdapat delapan negara yang abstain dan dua negara tak menandatangani deklarasi tersebut. Namun dapat dipastikan DUHAM sebagai satu piagam HAM mengawali dibukanya ruang diskursus soal keadilan, martabat, kemerdekaan dan kesetaraan. Sebagian alasannya adalah DUHAM sebagai instrumen hukum HAM internasional seringkali dicurigai sebagai bentuk lain penyusupan nilai-nilai Barat kepada dunia timur.
Faktanya dalam proses kelahiran DUHAM justru mendapatkan dukungan. Bahkan dari negara-negara kecil yang bertekad untuk mengadopsi DUHAM, karena secara politis dan pragmatis, nilai-nilai dasar DUHAM mencerminkan kepentingan negara-negara kecil yang baru lepas dari penjajahan, juga pada kaum yang tertindas di dalam suatu negara.
Pada sisi lain fakta sosial terjadi justru sebaliknya, dalam kehidupan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris dalam kondisi segregasi rasial yang kritis dan Uni Soviet, dengan ideologi komunisnya meletakkan superioritas kepentingan kolektif atas kepentingan individu. Sehingga DUHAM dapat dikatakan sebagai manifestasi perjuangan dan negara-negara ‘Timur’ dalam meraih martabat yang setara.
Pertanyaan penting yang dapat diajukan hari ini adalah; apakah spektrum hukum dan HAM berpengaruh ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat? Membebaskan kehidupan sosial dari narasi-narasi yang bias gender. Apakah kemudian HAM memberikan ruang kebebasan publik kepada perempuan tanpa dibatasi ruang dan waktu serta struktur sosial, politik juga budaya.
Selain itu, seberapa berpengaruhnya perkembangan HAM di dunia dalam mengubah tatanan sosial di masyarakat, dalam memberikan akses terhadap perempuan untuk terlibat dalam pembangunan tatanan sosial tersebut. Atau justru sebaliknya HAM hanya sebatas wacana yang menjadi suatu keniscayaan dalam perkembangan sosial, tetapi daya dan batasnya belumlah menjalar ke dalam bagian-bagian terkecil di masyarakat.
HAM hanya menjelma menjadi menara gading atau semacam jualan politis menjelang tahun politik. Realitasnya, perempuan sebagai satu entitas masyarakat kemudian tereliminasi dalam narasi sejarah dan ilmu pengetahuan.