REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah peneliti berhasil melakukan penyelidikan terkait banjir besar Sungai Kuning yang menghancurkan Kota Kaifeng (bekas ibukota kekaisaran) pada 1462 M silam. Hasilnya, diperkirakan bencana besar itu menewaskan sekitar 300 ribu orang.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports itu, para ilmuwan melakukan pemeriksaan bukti-bukti geologis dan arkeologis. Temuan mereka membalikkan dokumen sejarah selama ini.
Banjir itu "menghancurkan kota bagian dalam Kaifeng, memakamkan kota dan penduduknya dalam beberapa meter lumpur dan tanah liat," demikian bunyi laporan penelitian itu sebagaimana dilansir Newsweek, Kamis (5/3).
Tim riset yang dipimpin Michael Storozum dari Universitas Fudan, China itu menyebut, banjir tersebut begitu dahsyat. Sebagian tembok kota hancur akibatnya. Hal ini menunjukkan bahwa banjir itu terperangkap di dalamnya.
Sungai Kuning (sungai terpanjang kedua di China), kadang-kadang disebut sebagai “kesedihan China” lantaran kecenderungannya selama berabad-abad sebagai penyebab banjir menghancurkan. Dokumen sejarah menunjukkan bahwa Sungai Kuning jadi penyebab banjir hingga seribu kali dalam 2.000 tahun terakhir. Jutaan orang diperkirakan jadi korban jiwa. Beberapa peristiwa banjir akibat Sungai Kuning tercatat sebagai banjir paling mematikan dalam sejarah.
Adapun Kota Kaifeng terletak di tepi selatan Sungai Kuning. Lokasinya kini tepat di tengah provinsi Henan. Kota ini sebelumnya adalah salah satu kota terbesar di dunia dan berfungsi sebagai ibukota kekaisaran dari beberapa dinasti China.
Kota Kaifeng juga dikenal sebagai korban beberapa banjir Sungai Kuning. Dalam 3.000 tahun terakhir, Kota Kaifeng telah diterjang banjir Sungai Kuning sekitar 40 kali. Namun, banjir tahun 1642 M diperkirakan adalah yang terparah.
Banjir 1642 M berbeda dengan yang lainnya. Sebab, banjir ini bukan disebabkan oleh alam, melainkan oleh manusia. Kejadian bermula ketika kota itu dikepung pemberontak selama 6 bulan. Merasa hampir kalah, Gubernur Kaifeng memutuskan untuk mengambil tindakan yang akhirnya mengorbankan ribuan nyawa rakyatnya sendiri.
"Gubernur Kaifeng memerintahkan agar air Sungai Kuning dilepaskan sehingga bisa menghancurkan pasukan pemberontak," tulis Xin Xu dan Rivka Gonen dalam buku The Jewish of Kaifeng, China: History, Culture, and Religion.
"Tanggul-tanggul itu rusak, tetapi alih-alih melukai para pemberontak, air yang mengamuk menyapu kota dataran rendah itu, menenggelamkan warga yang sama sekali tidak siap. Dari populasi 378.000, hanya beberapa ribu yang selamat," tulis Xin Xu.
Menurut penelitian para arkeolog baru-baru ini yang dipimpin Storozum itu, ditemukan bahwa tembok kota Kaifeng telah runtuh selama pengepungan pemberontak. Walhasil, kota itu tidak terlindungi dari banjir.
"Akibatnya, masuknya air banjir yang terus-menerus ke kota menciptakan campuran mematikan antara lumpur dan puing-puing kota yang secara signifikan memperkuat kekuatan destruktif Sungai Kuning," tulis Storozum dan rekannya.
Menurut para peneliti, investigasi terhadap bencana masa lalu seperti ini dapat membantu menjelaskan peristiwa serupa hari ini. Terutama saat ini dunia tengah menghadapi perubahan iklim yang diperkirakan akan menyebabkan cuaca ekstrem di seluruh dunia.
"Investigasi kami di Kaifeng menunjukkan bahwa ketahanan perkotaan tidak statis tetapi bervariasi tergantung pada besarnya dan jenis bahaya alam, lanskap yang dibangun, serta lembaga sosial kota," demikian bunyi laporan penelitian itu.