Jumat 06 Mar 2020 21:54 WIB

Peneliti: Virus Corona Kemungkinan Telah Bermutasi

Peneliti mengungkap, virus corona telah satu kali bermutasi.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Peneliti mengungkap, virus corona telah satu kali bermutasi.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Peneliti mengungkap, virus corona telah satu kali bermutasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru yang dilakukan oleh para ilmuwan China memberikan fakta baru mengenai virus corona. Studi itu mengungkap, virus corona tipe baru yang telah menginfeksi ribuan orang di seluruh dunia itu mungkin telah bermutasi setidaknya satu kali.

Dilansir laman Fox News, Jumat (6/3), hal itu mengartikan, mungkin ada dua jenis virus yang menyebabkan penyakit. Studi itu berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh para ilmuwan dari School of Life Sciences Universitas Peking dan Institut Pasteur Shanghai.

Baca Juga

Dalam sebuah studi pendahuluan, mereka menemukan bahwa satu jenis, yaitu virus tipe "L", lebih agresif dan menyumbang sekitar 70 persen dari tipe yang dianalisis. Sementara itu, virus tipe kedua, yaitu tipe "S", kurang agresif dan menyumbang sekitar 30 persen dari strain yang dianalisis.

Awalnya, menurut para peneliti, virus tipe L lebih umum selama tahap awal wabah di Wuhan, Provinsi Hubei, China, sebagai pusat wabah. Tetapi tekanan ini menurun setelah awal Januari 2020.

“Intervensi manusia mungkin telah menempatkan tekanan selektif yang lebih parah pada tipe L, yang mungkin lebih agresif dan menyebar lebih cepat. Di sisi lain, tipe S, yang secara evolusioner lebih tua dan kurang agresif, mungkin meningkat dalam frekuensi relatif karena tekanan selektif yang relatif lebih lemah, ”catat mereka.

Para peneliti menemukan bahwa jenis kedua atau tipe S, kemungkinan disebabkan oleh mutasi versi leluhur. “Meskipun tipe L (∼70 persen) lebih lazim daripada tipe S (∼30 persen), tipe S ditemukan versi leluhur,” kata mereka.

Para peneliti menyimpulkan, temuan ini sangat mendukung kebutuhan mendesak untuk segera melakukan studi komprehensif. Studi itu yang menggabungkan data genomik, data epidemiologis, dan grafik catatan gejala klinis pasien dengan penyakit coronavirus 2019 (Covid-19). Mereka juga mengingatkan data yang tersedia untuk studi itu sangat terbatas.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement