REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sumarlan*)
Saat ini, kita sedang berada di era disrupsi. Inilah zaman ketika metode-metode lama beralih menuju cara baru yang lebih efektif dan efisien. Disrupsi menginisiasi lahirnya banyak fenomena baru, termasuk dalam hal bertransaksi.
Yang terjadi saat ini, sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan sistem transaksi offline. Mereka cenderung beralih ke sistem transaksi daring (online). Ojek online, misalnya, satu contoh yang marak kita jumpai belakangan ini.
Tulisan ini akan menyoroti penerapan sistem daring dalam dunia pendidikan. Ya, salah satu institusi yang sering menggunakan uang negara untuk belanja kebutuhan adalah sekolah.
Dalam rangka memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, sudah selayaknya sekolah menerapkan sistem daring dalam bertransaksi. Jadi, barang yang dibeli dan uang yang dikeluarkan mudah dikontrol.
Sistem transaksi daring memang mempunyai banyak kelebihan. Tidak hanya efisien, pemantauan terhadap penggunaan uang juga mudah dilakukan. Aspek transparansi itu menjadi kian penting bila dana yang dibelanjakan menyangkut uang negara.
Kenyataanya, saat ini masih banyak sekolah yang menerapkan sistem belanja non-daring. Padahal, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyediakan Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPlah). Pertanyaannya, mengapa masih banyak sekolah yang melakukan transaksi offline?
Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada tiga faktor yang menyebabkan hal demikian.
Pertama, sekolah tersebut berada di daerah-daerah terpencil yang tidak ada akses internet. Sekolah semacam itu tidak mungkin melakukan transaksi daring. Kalaupun memaksakan diri untuk bertransaksi online, sekolah tersebut harus mencari akses internet ke daerah lain yang tentu saja akan memakan biaya tertentu.
Kedua, masalah mental. Meskipun mempunyai akses internet, beberapa oknum sekolah lebih suka bertransaksi offline karena mudah baginya untuk melakukan tindak korupsi. Dengan transaksi offline, harga barang dan penggunaan uang lebih sulit terkontrol.
Ketiga, lemahnya peran pemerintah. Memang benar, pemerintah telah mengeluarkan aturan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 250/M/2019 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Sekolah yang Bersumber dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Akan tetapi, Kepmendikbud tersebut hanya berupa aturan, tanpa pengawasan dan sanksi bagi pelanggarnya. Apa artinya aturan tanpa pengawasan dan sanksi?
Jika ketiga masalah di atas dihilangkan, hemat saya, tidaklah sulit untuk meng-online-kan sekolah. Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud sangat mampu untuk menyelesaikan hambatan di atas.
Apabila terdapat kehendak politik (political will), sumber daya, dan kewenangan yang dimiliki dapat diarahkan ke sana. Ibaratnya, kalau ojek saja bisa di-online-kan, mengapa sekolah tidak?
*) Penulis aktif dalam Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Yogyakarta. Sehari-hari, penulis merupakan staf pengajar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) serta duduk sebagai direktur Pegiat Pendidikan Indonesia.