REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Harris mengatakan masih banyak peneliti Indonesia yang tidak mendaftarkan paten atas temuannya. Bahkan, ada yang merasa proses pengurusan sangat lama.
Padahal, ia menekankan, sebenarnya proses pengurusan paten di Kemenkumham terhadap temuan-temuan peneliti tidak lama. Namun, Freddy merasa, masih banyak orang yang berpikir ini soal akademik dan mendapatkan honorarium.
"Karena sedikit, 80 persen paten yang kita kelola berasal dari asing dan hanya 20 persen dari Indonesia," kata Freddy di Grha Sabra Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (10/3).
Ia mengeklaim, Kemenkumham sebenarnya tidak ingin anggaran-anggaran yang disediakan hanya untuk mengurus paten yang berasal dari asing. Sebaliknya, kata Freddy, seharusnya bisa dialokasikan untuk paten anak bangsa sendiri.
Untuk itu, ia berharap, inovator-inovator muda dapat mendaftarkan paten-paten untuk mendapat perlindungan hak kekayaan intelektual. Utamanya, inovator-inovator yang berasal dari perguruan tinggi Indonesia.
Freddy berpendapat, minimnya jumlah paten di Indonesia dikarenakan belum terbangunnya semangat inovasi dari insan akademik. Selain itu, masih kurangnya peran perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian.
Selain itu, ia menyarankan, tiap-tiap paten yang didapatkan bisa langsung dikomersialisasikan perguruan tinggi. Sebab, kekayaan intelektual tanpa nilai ekonomi tentu saja hanya akan menjadi hak sosial semata.
"Inventor jangan disuruh jualan, dia sudah pusing dengan temuannya," ujar Freddy usai menyerahkan paten ke peneliti-peneliti di UGM.
Sebanyak 19 hasil inovasi dari tim peneliti menerima paten dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa hasil inovasi yang mendapatkan paten tersebut mulai temuan pengembangan stent jantung dan alat bantu pembuatan implan tulang.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan UGM, Djagal Wiseso Marseno, menyampaikan ucapan selamat kepada tim-tim peneliti yang mendapatkan paten. Saat ini, UGM memiliki 603 kekayaan intelektual.
Djagal berpendapat, UGM sebagai universitas riset sudah memberikan cukup perhatian kepada pengembangan dan perlindungan kekayaan intelektual atas hasil sebuah inovasi. Termasuk, dorongan-dorongan kepada mahasiswa.
"Kita mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan pendaftaran perlindungan karya inovasi," kata Djagal.
Tapi, lanjut Djagal, hasil-hasil temuan yang mendapatkan paten bila tidak dikomersialisasikan ke industri akan sia-sia. Sehingga, semua hasil inovasi sebaiknya memang segera dipublikasikan dan dikerjasamakan.
"Ibarat aset, hasil paten perlu menjadi kapital dengan dipublikasikan agar bisa menggandeng industri," ujar Djagal.