Jumat 13 Mar 2020 07:02 WIB

Akibat Penyederhanaan Upacara, 3 Kain Tradisional Bali Punah

Penyederhanaan upacara membuat tiga kain tradisional Bali alami kepunahan.

Persembahyangan Kedas di Pura Besakih, Karangasem, Bali. Penyederhanaan upacara membuat tiga kain tradisional Bali alami kepunahan.
Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana/
Persembahyangan Kedas di Pura Besakih, Karangasem, Bali. Penyederhanaan upacara membuat tiga kain tradisional Bali alami kepunahan.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pakar Busana Bali Anak Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya mengatakan, tiga jenis kain asli Bali telah mengalami kepunahan. Hal itu terjadi sebagai dampak dari budaya penyederhanaan upacara yang tidak lagi menggunakan kain-kain sakral.

"Ada 10 jenis kain Bali yang khas, yakni jenis bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan," kata Mayun yang juga akademisi Prodi Fashion dari Institut Seni Indonesia Denpasar, saat menjadi narasumber dalam kriyaloka (workshop) Busana Adat ke Pura, di Taman Budaya, Denpasar, Kamis (12/3).

Mayun mengungkapkan, kain jenis bebali, wewali, dan keling saat ini sudah tidak ditemukan lagi. Kain tradisional yang mengalami kepunahan itu berasal dari Tengenan, Nusa Penida, dan sebagian besar Bali Mula.

Menurut Mayun, keberadaan kain Bali sangat erat kaitannya dengan budaya tata cara upacara di Bali. Ia mengatakan, punahnya kain-kain asli Bali terjadi akibat dari pergeseran budaya masyarakat, seperti penyederhanaan upacara.

"Yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan," ujarnya.

Terkait penggunaan busana adat ke pura, menurut Mayun, sebenarnya tak harus repot dan mahal. Kuncinya ialah mau belajar dan latihan.

"Bagi yang wanita tidak boleh menggunakan kebaya pendek, harus panjang. Begitupun menggunakan kain, jangan menggunakan kain yang dijahit, itu namanya rok," ujar akademisi yang kini sedang menempuh S3 dan meneliti berbagai jenis kain khas Bali itu.

Oleh karena itu, Mayun mengajak generasi muda Bali untuk menggunakan busana yang rapi, beretika dan sederhana, tak ribet dan mahal. Ia mengingatkan bahwa tren mode secara umum tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya untuk rujukan busana ke pura.

"Tren fashion yang dibawa oleh media saat ini, cenderung demi tuntutan berpenampilan trendi, modis, dan meniru kalangan selebritas sebagai sumber rujukan berbusana. Persoalannya, rujukan dari tren fashion ini tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke pura," katanya.

Padahal dalam awig-awig atau pakem berbusana sudah ada. Pakem busana adat Bali warisan leluhur, menurut Mayun, sudah lengkap, karena sudah mempertimbangkan unsur-unsur estetika dan etika.

"Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, Nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya," ucapnya.

"Triangga" menata busana berdasarkan kosmologi Hindu, struktur busana mulai kepala, badan hingga kaki. Sedangkan "Wesa" dimaknai status dalam fase kehidupan, busana anak, dewasa atau orang tua.

Sementara "Purwadaksina dan "Prasawiya" merupakan konsep berbusana seperti kain yang dililitkan di tubuh pria atau wanita. Mayun menjelaskan, wastra (kain) pria dililitkan searah jarum jam, sedangkan wanita sebaliknya kain dililitkan berlawan arah jarum jam.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement