Jumat 13 Mar 2020 08:56 WIB

Paris, Salju dan Gerimis

Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya.

Paris, Salju dan Gerimis (Ilustrasi foto Menara Eiffel)
Foto: AP Photo/Christophe Ena
Paris, Salju dan Gerimis (Ilustrasi foto Menara Eiffel)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irwan Kelana

Pesawat Saudi Airlines dari Jeddah tujuan Paris mendarat mulus di bandara Charles de Gaulle. Kutengok jam tangan, waktu menunjukkan pukul 07.30.

Pesawat terbang dari Jeddah pukul 03.10.  Menjelang terbang, pramugari mengumumkan penerbangan Jeddah-Paris memakan waktu sekitar 6 jam 20 menit.

Butuh waktu sekitar 1,5  jam, aku bersama 40 anggota rombongan umroh plus Paris melalui pemeriksaan imigrasi dan mengambil bagasi. Tour leader (TL) yang juga pemilik travel, Hisyam, mengarahkan kami ke luar bandara.

Ini pertengahan Februari. Prancis masih musim dingin. “Paris di bulan Februari masih lumayan dingin. Suhu udara sekitar 4 sampai  8 derajat celcius,” kata Hisyam begitu kami berada di tempat parkir. Bus jemputan sudah menunggu.

Ini kali ketiga aku melakukan umroh. Lima belas tahun lalu aku melakukannya berdua dengan Khairin Fadila, istriku. Lima tahun berikutnya aku pun melakukannya bersama istriku. Kali ini umroh plus Kairo.

Namun umroh yang ketiga aku melakukannya sendiri. Aku umroh dengan niat mencari petunjuk Allah mengenai perkawinanku dengan Khairin. Sudah lebih 15 tahun kami menikah, namun sampai saat ini belum juga dikaruniai anak.

Kami sudah periksa dokter. Menurut dokter, aku dan Khairin tidak ada masalah.

Lima tahun pertama menunggu, okelah. Sepuluh tahun, kesabaranku mulai habis. Apalagi setelah 15 tahun. Usiaku dan Khairin sudah hampir kepala empat. Namun rumah kami masih saja sepi tanpa tangis dan tawa anak.

Yang membuatku makin galau, ibuku yang sudah tidak sabaran dan berkali-kali menanyakan soal cucu. Dia sangat rindu menimang cucu. Apalagi aku adalah anak satu-satunya dan penerus bisnis keluarga.

Beberapa kali ibuku menyarankan aku untuk menikah lagi, agar bisa segera punya anak.

“Sekretarismu, Melisa, cantik dan berjilbab pula. Mengapa tidak kau nikahi saja dia, supaya ibu bisa segera punya cucu,” ujar ibuku.

“Bu, tidak semudah itu aku menikahi wanita lain. Khairin istri yang baik dan salehah. Satu-satunya masalah kami adalah kami belum dikaruniai anak,” sahutku.

“Justru itu. Khairin sampai sekarang belum juga hamil. Padahal usianya sudah hampir 40 tahun. Lalu, kapan dia mau hamil?”

“Bu, maaf ya, soal anak, jodoh, rezeki dan mati, itu ‘kan urusan Allah.”

“Ya, tapi manusia wajib berikhtiar.”

“Aku dan Khairin bukannya tidak berikhtiar, Bu. Kami sudah berkonsultasi ke banyak dokter kandungan. Kami juga mencoba beberapa terapi dan herbal. Tapi memang Allah belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk punya anak.”

“Maka itu, Ibu sarankan kamu menikah lagi supaya bisa punya anak. Irfan, usia Ibu sekarang sudah hampir 70 tahun. Apa kamu tidak menyesal kalau Ibu keburu meninggal, belum sempat menimang cucu?”

Aku tak tahu harus berkata apa. Terus terang, aku tak tega menduakan Khairin. Aku tak tahan melihat mata sendunya.

Khairin adalah satu-satunya gadis yang aku cintai waktu kuliah di Fakultas Ekonomi UI Depok.  Sejak pertama kali melihatnya di masjid kampus UI, hatiku langsung terpincut kepadanya. Jilbabnya modis. Dia selalu pandai memadukan atasan, bawahan dan kerudungnya. Tak hanya modis, dia pun selalu menjaga dirinya agar tak jadi santapan pandangan nakal laki-laki. Dia tak pernah sekalipun membiarkan orang melihat lekuk tubuhnya, terutama dada dan bokongnya.

Baju dan kerudungnya selalu menutupi lekuk tubuhnya. Terkadang dia memakai jaket, kali lain memakai sweater, pada waktu lain lagi dia memakai over coat, yang semuanya panjang hingga lutut.

“Khairin. Lengkapnya Khairin Fadila,” sahutnya lembut saat kutanyakan namanya suatu hari seusai shalat Dhuha di masjid kampus, satu bulan sejak aku kuliah di UI.

Belakangan aku tahu, ayahnya ternyata seorang ustadz. Tinggal di Bandung.

Tiap selesai shalat aku berdoa kepada Allah, “Ya Allah, lulus kuliah saya ingin menikahi Khairin. Titip Khairin ya Allah.”

Kami wisuda sarjana pada waktu yang bersamaan. Seusai wisuda, aku menghampirinya.

“Rin, apakah ada yang mendahuluiku?”

“Maksudnya apa, Irfan?”

“Apakah ada lelaki yang pernah melamarmu?” tanyaku to the point.

Tiba-tiba wajah Khairin memerah jambu.

“Belum ada tuh.”

“Alhamdulillah. Ya Allah, Engkau kabulkan doaku.”

“Maksudmu apa, Irfan?”

“Sejak pertama kali melihatmu, aku jatuh cinta padamu. Dan aku ingin menjadikamu istri bagiku dan ibu anak-anakku. Tapi aku tidak mau pacaran. Makanya tiap selesai shalat, aku berdoa kepada Allah agar selalu menjagamu untukku. Aku titipkan engkau kepada Allah.”

“Sekarang apa rencanamu, Irfan?” gantian, Khairin yang “menembak” aku.

Dia tersenyum kecil memperlihatkan barisan giginya  yang putih teratur. Akh, kalau mau, Khairin bisa jadi model pasta gigi.

“Rencanaku? Aku sekarang akan menemui ayahmu untuk minta izin melamarmu. Pekan depan, besok, atau kalau beliau setuju, hari ini juga.”

Lagi-lagi Khairin tersenyum manis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement