REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*
Corvid-19, isolasi kota, karantina, kepemimpinan. Dan belakangan muncullah nama Amr bin Ash. Bermula beberapa netizen membagikan potongan salah satu kajian bersama Ustad Budi Ashari, Lc, ulama pengasas Kuttab Al Fatih yang juga pakar sirah nabawiyah. Tema kajian utuhnya tentang bagaimana Islam memandang kecerdasan.
Nama Amr bin Ash disebut-sebut karena ide isolasi atau karantina pada kawasan yang didera penyakit akut. Kala itu Syam dilanda penyakit tha'un, dengan Umar bin Khathab yang bertindak sebagai khalifah di Madinah. Tukar gagasan Umar dan Amr bin Ash inilah yang berujung mencuatnya ide karantina berbasis kota. Dan hasilnya, ide Amr ampuh. Atas izin Allah.
Menarik, Muslimin membicarakan Amr bin Ash dan seolah melupakan bagaimana sikap mereka padanya dalam peristiwa tahkim dengan diplomat Khalifah Ali bin Abi Thalib beberapa tahun kemudian. Dan memang semestinya kita menempatkan para shahabat dalam kedudukan proporsional, dengan melihat mereka sebagai manusia juga. Termasuk pada diri Amr bin Ash. Beban kisah tahkim seyogianya dicukupkan untuk menilai kedudukan lain shahabat ini.
Di kajian Ustad Budi Ashari disebutkan utuh perihal kecerdasan Amr bin Ash. Di luar Nabi Muhammad, ujar beliau, ada ungkapan bahwa Muslim cerdas di kalangan bangsa Arab ada empat: Amr bin Ash; Muawiyah bin Abu Sufyan; Mughirah bin Syu’bah; Ziyad bin Abih.
Tiga nama pertama adalah sahabat Nabi. Nama terakhir seorang tabi'in. Dalam tiap masalah, mereka secara cepat membuat putusan efektif dan—pada akhirnya—mengubah sejarah. Semisal Amr bin Ash, selain kejadian tha'un, adalah buah kecohannya terhadap Khalifah Umar bin Khathab, yang ujungnya membuka penaklukan Afrika dan merintis generasi berikutnya untuk menyeberang ke jazirah Eropa.
Keempat nama itu, menariknya, sering dipandang miring bahkan oleh Muslimin sendiri. Dari rahim Ahlus-Sunnah saja, sebagai contoh, menuding nama-nama itu—khususnya Muawiyahdan dan Amr bin Ash—sarat ambisius. Jangan tanya bagaimana gemuruh sarjana kampus Islam negeri di sini mencacat nama-nama tadi, lagi-lagi, khususnya Muawiyah dan Amr bin Ash.
Kalau ditarik “kritik” para dosen mereka itu ialah lantaran merujuk pada “penelitian” orientalis (sebagian merupakan guru mereka langsung dalam studi Islam di kampus Barat). Terlepas “kritik” itu bisa direnungi sebagai masukan bagi kepemimpinan Muslimin kapan pun, Saudara-saudara kita ini lupa bahwa di balik “kritik” orientalis ada bias dendam masa lalu. Dendam lantaran tanah airnya ditaklukkan orang-orang sekelas Amr bin Ash dan Muawiyah.
Nuansa tragedi dan kemanusiaan masih selalu jadi melankolia Barat sehingga menjadi pembungkus yang samar atas sikap tidak adilnya. Dan naifnya, ini luput dari amatan banyak sarjana Muslim. Kita akhirnya enggan belajar kecerdasan juga kepemimpinan pada—antara lain—empat nama tadi karena dianggap pelaku nepotisme, despotis, korupsi, dan sebutan “mengerikan” lainnya yang itu tak lebih demonologi pihak yang pernah kalah dalam kontestasi peradaban.
Padahal, dari kecerdasan orang-orang di atas, lahir peradaban gemilang. Tentu sudah jamak dipahami, gemilang umat Nabi Muhammad di abad pertengahan tidak hanya kontribusi keempatnya.
Poin penting di sini adalah bahwa rintisan kepemimpinan keempatnya membantu membuka hadirnya era kegemilangan. Proses terus-menerus secara estafet dalam menghadirkan Islam yang rahmat bagi semua makhluk. Ambil contoh buat ilustrasi yang di kawasan hari ini kita memandangnya penuh pesona: Barat.